Daftar Blog Saya

Selasa, 31 Januari 2012

APA SEBENARNYA TUJUAN DIDIRIKANNYA NU

APA SEBENARNYA TUJUAN DIDIRIKANNYA NU? *

oleh Abu Faza pada 29 Januari 2012 pukul 14:35
APA SEBENARNYA TUJUAN DIDIRIKANNYA NU?

بسم الله الرحمن الرحيم

Ketahuilah Wahai Ikhwani Fillaah Para Teman Seaqidah ,

Untuk apa dan kenapa NU didirikan?.

Masalah ini sering jadi bahan pertanyaan bagi orang-orang, lebih-lebih ketika ada masalah-masalah yang janggal ataupun mencengangkan bagi masyarakat, sedang masalah itu timbul atau dilakukan oleh orang-orang NU.
Bahkan di kalangan NU, hatta pemimpinnya ataupun elitnya pun perlu mencurahkan tenaga dan fikiran secara tersendiri untuk menjawab ataupun menangkis pandangan orang tentang untuk apa sebenarnya NU didirikan. Sebagaimana Abdurrahman Wahid telah berupaya menulis artikel untuk menangkis sebisa-bisanya tentang pandagan para sejarawan tentang berdirinya NU.

Oleh karena itu, setelah dikemukakan upaya Gus Dur/ Abdurrahman Wahid dalam menangkis pandangan para sejarawan, maka kini pada gilirannya ditampilkan penuturan para sejarawan mengenai kenapa NU didirikan.

Karel A. Steenbrink menulis seputar berdirinya NU sebagai berikut:

Ketika di Surabaya didirikan panitia yang berhubungan dengan penghapusan khalifah di Turki[1] Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah (yang nantinya mendirikan NU, pen) juga menjadi anggota bersama Mas Mansur (tokoh yang masuk persyarikatan Muhammadiyah sejak 1922, pen). Beberapa rencana panitia ini untuk menghadiri muktamar dunia Islam[2] tertunda, karena terjadi peperangan Wahabi di Saudi Arabia.

Beberapa waktu kemudian muktamar tersebut terlaksana meski dalam bentuk yang berbeda. Pada saat itu Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah mengundurkan diri dari kepanitiaan. Pengunduran diri itu disebabkan dia tidak jadi dikirim sebagai utusan karena pengetahuan bahasa yang kurang, di samping pengalaman dunia yang tidak cukup luas.

Menurut kelompok lainnya, dia tidak dikirim karena dia akan membela kemerdekaan mazhab Syafi’i di kota Mekkah yang saat itu dikuasai Wahabi. Dan memang, yang dikirim ke Mekkah hanyalah mereka yang menolak taqlid dan dicap Wahabi, termasuk di antaranya Mas Mansur[3]

Karel A Steenbrink melanjutkan tulisannya: “Abdul Wahab Hasbullah kemudian membentuk panitia sendiri yang bernama “Comite merembuk Hijaz.” Bermula dari komite ini, pada tanggal 31 Januari 1926 didirikan Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama (NU) memang muncul sebagai protes terhadap gerakan reformasi, juga dari kebutuhan untuk mempunyai organisasi yang membela mazhab Syafi’i dan menyaingi organisasi Muhammadiyah dan Al-Irsyad.

Memang, tiga tahun kemudian Wahab Hasbullah bersama kawan-kawannya dari NU berangkat ke Mekkah untuk membicarakan persoalan yang berhubungan dengan ibadat dan pengajaran agama menurut mazhab Syafi’i. Pada saat itu, Raja Ibnu Saud menjanjikan tidak akan bertindak terlalu keras dan memahami keinginan NU tersebut.”[4]

Kalau ungkapan itu dikemukakan oleh peneliti Belanda, ternyata persepsi yang hampir sama ditulis pula oleh peneliti Indonesia, H Endang Saifuddin Anshari MA seperti yang ia tulis:

“Pada tanggal 31 Januari 1926 Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya, di bawah pimpinan Syaikh Hasyim Asy’ari, sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang dibawa terutama oleh Muhammadiyah dan lain-lain. Usahanya antara lain memperkembangkan dan mengikuti salah satu dari keempat mazhab fiqh. Tahun 1952 memisahkan diri dari Masyumi dan sejak itu resmi menjadi Partai Politik Islam.”[5]

Kegiatan politik praktis NU mulai surut ketika memfusikan diri ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) 1973. Lalu ditegaskan bahwa NU bukan wadah bagi kegiatan politik praktis dalam Munas (Musyawarah Nasional)nya di Situbondo Jawa Timur 1983, dan diperkuat oleh Muktamar NU 1984 yang secara eksplisit menyebut NU meninggalkan kegiatan politik praktisnya.

Dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, NU dengan tegas menerima asas tunggal Pancasila dan menyatakan kembali kepada khittah 1926 yang berarti meninggalkan kegiatan politik praktis.[6]

Perkembangan berikutnya, pada bulan Juni 1998, PBNU memfasilitasi lahirnya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Kebijakan tersebut mengundang pro dan kontra di kalangan warga NU sendiri. Akibatnya, lahirlah Partai Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partasi Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Sementara itu, sebagian cukup besar warga NU yang lain tetap bertahan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar.

Perkembangan berikutnya lagi, Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI. Melalui Muktamar pada Nopember 1999, Abdurrahman Wahid lengser sebagai ketua umum PBNU, yang telah dijabatnya selama 15 tahun. Kepemimpinan beralih dari ‘duet’ KH Ilyas Rucjhiat-KH Abdurrahman Wahid ke tangan KHMA Sahal Mahfudz- (Rais Aam Syuriyah PBNU)-KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum Tanfidziyah PBNU).[7]

Musykilat seputar berdirinya NU

Kembali pada persoalan awal, Untuk melacak lebih cermat tentang sebenarnya untuk apa didirikannya NU, perlu disimak apa yang ditulis oleh Dr Deliar Noer. Menurutnya, penghapusan kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan pada dunia Islam pada umumnya, yang mulai berfikir tentang pembentukan suatu khilafat baru.

Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat pada bulan Maret 1924, dan sebagai sambutan atas maksud ini suatu Komite Khilafat didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah.

Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924 antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Saerkat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi.

Tetapi kongres di Kairo itu ditunda[8], sedangkan minat orang-orang Islam di Jawa tertarik lagi pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husein dari Mekkah tahun 1924. Segera setelah menangani ini pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktek beragama sesuai dengan ajarannya, walaupun ia tidak melarang pelajaran mazhab di Masjid al-Haram. Tindakannya ini sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian juga ditolak. Tetapi dengan kemenangan Ibnu Sa’ud ini, baik Mekkah maupun Kairo berebut kedudukan khalifah.[9]

Suatu undangan dari Ibnu Sa’ud kepada kaum Islam di Indoesia untuk menghadiri kongres di Mekkah dibicarakan di kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan di kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1926). Kedua kongres ini kelihatannya didominasi oleh golongan pembaharu Islam. Malah sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926) telah memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kiyai Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Mekkah untuk mengikuti kongres.

Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di Cianjur, KHA Abdul Wahab (Hasbullah, pen) atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca do’a seperti dalail al-khairat[10], ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Mekkah dan Madinah. Kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usul-usul (Wahab Hasbullah) ini, sehingga Wahab dan tiga orang penyokongnya keluar dari Komite Khilafat tersebut di atas. Wahab selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat-rapat kalangan ulama Kaum Tua, mulanya ulama dari Surabaya, kemudian juga dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati.

Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini masih tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai pokok pembicaran utama.[11]

Deliar Noer menjelaskan suara Kaum Tua (NU, organisasi baru muncul) sebagai berikut:

Bani Sa’ud An-Nadjdi di zaman dahulu terkenal dengan aliran Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab, menurut kitab-kitab tarikh... Belum lagi diketahui dengan pasti aliran apa yang dianut Raja Sa’ud sekarang (masih Wahabi atau bermazhab empat), tetapi khabar mutawatir menyebutkan mereka merusak pada qubah-qubah, melarang Dalail al-Khairat dan sebagainya.

...Kita kaum Muslimin, meskipun kaum tua, juga ada merasa ada mempunyai hak yang berhubungan dengan tanah (suci) dalam hal agama, karena di situ ada Qiblat dan (tempat) kepergian haji kita dan beberapa bekas-bekas Nabi kita bahkan quburannya juga. Walhal, kita ada anggap Sunnat-Muakkad ziarah di mana qubur tersebut.[12]

Organiasi baru ini (NU) menekankan keterikatannya pada mazhab Syafi’i dan memutuskan untuk berusaha sungguh-sungguh guna menjaga langsungnya kebiasaan bermazhab di Mekkah dan di Indonesia. Sebaliknya dikatakan bahwa tidak terkandung maskud apapun untuk menghalangi mereka yang tidak mau mengikuti mazhab Syafi’i.

Rapat (komite Hijaz/ NU) bulan Januari 1926 itu memutuskan untuk mengirim dua orang utusan menghadap Raja Ibnu Sa’ud untuk mempersembahkan pendapat organisasi tentang masalah mazhab, serta juga mengadakan seruan kepada raja tersebut untuk mengambil langkah-langkah guna kepentingan mazhab serta memperbaiki keadaan perjalanan haji.(Utusan itu akan terdiri dari Kiyai Haji Khalil dari Lasem dan Kiyai Haji Abdul Wahab dari Surabaya. Menurut Bintang Islam, IV, 1926, No 6, hal 96-98, Nahdlatul Ulama akan meminta Ibnu Sa’ud agar:

... tidak melarang kepada siapapun orang yang menjalankan mazhab Syafi’i.

...melarang atau sehingga menyiksa barang siapa yang mengganggu atau menghalang-halangi perjalanannya mazhab Syafi’i.

...menetap adakan angkatan ziarah ke Medinah al-Munawarah dan ziarah di beberapa quburnya syuhada dan bekas-bekas mereka itu.

...tidak mengganggu orang yang menjalankan wirid zikir yang benar atau wirid membaca Dalail al-Khairat atau Burdah atau mengaji kitab fiqh mazhab Syafi’i, seperti Tuhfah, Nihayah, Bajah.

... memelihara qubur Rasulullah saw sebagaimana yang sudah-sudah.

...jangan sampai merusak qubah-qubahnya syuhada...dan qubahnya aulia atau ulama...

...mengadakan tarif biaya barang-barang atau orang-orang yang masuk pada pelabuhan Jeddah dan tarif ongkos-ongkosnya orang haji mulai Jeddah terus Madinah...

...melarang Syeikh-syeikh haji Mekkah turun (datang) ke Tanah Jawa perlu mencari jama’ah haji sebab jalan yang demikian itu menghilangkan kehebatan Tanah Mekah dan kemudian umumnya orang-orang Mekkah, serta menjadikan tambahnya ongkos-ongkos...., lebih utama dalam pemerintahan mengadakan satu Komite pengurus haji di Mekkah).[13]

Suatu odiensi dengan Raja Ibnu Sa’ud juga diminta dengan perantaraan Konsulat Belanda di Jeddah, tetapi kedua orang utusan itu tak dapat berangkat karena terlambat memesan tempat di kapal. Sebagai gantinya Nahdlatul Ulama mengawatkan isi keputusan rapat mereka kepada kepala negara Saudi dengan tambahan permintaan agar isi keputusan ini dapat dimasukkan ke dalam undang-undang Hijaz.

Tidak ada jawaban terhadap permintaan ini. Dalam pada itu Nahdlatul Ulama beranggapan bahwa kongres Islam di Mekkah tahun 1926 yang dihadiri oleh Tjokroaminoto dan Mansur sebagai suatu “kegagalan” oleh sebab itu tidak ada sebuah pun masalah agama dibicarakan.

Tak lama sesudah kongres Al-Islam keenam di Surabaya dalam bulan September 1926 (kongres ini mengubah kedudukannya menjadi cabang kongres Islam di Mekkah), Nahdlatul Ulama melahirkan sikap tidak setujunya dengan kongres tersebut serta terhadap pemerintahan Ibnu Sa’ud. Organisasi ini (NU) malah menghasut kaum Muslimin agar membenci ajaran Wahabi serta penguasanya di Tanah Suci, dan menyarankan orang-orang agar jangan pergi naik haji.[14]

Tetapi pada tahun berikutnya Nahdlatul Ulama mengutus delegasi ke Mekkah. Pada tanggal 27 Maret 1928 Nahdlatul Ulama mengumumkan bahwa Abdul Wahab dan Ustadz Ahmad Ghanaim Al-Amir (Al-Misri) akan pergi ke Mekkah sebagai perutusan mereka. Dalam bulan itu juga keduanya berangkat; Abdul Wahab singgah di Singapur untuk mempropagandakan pendiriannya di kalangan orang Islam di Pulau itu, dan sampai di Tanah Suci tanggal 17 April 1928. Pada tanggal 13 Juni 1928 mereka diterima oleh Raja. Pada kesempatan ini kedua utusan tersebut juga meminta Raja Ibnu Sa’ud agar membuat hukum yang tetap di Hijaz. Mereka mohon jawaban terhadap seruan mereka.

Dalam jawabannya, berupa surat, Raja mengatakan bahwa perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban tiap pemerintahan di negeri itu. Ia menambahkan akan memperbaiki keadaan perjalanan haji sejauh perbaikan ini tidak melanggar ketentuan Islam. Ia juga sependapat bahwa kaum Muslimin bebas dalam menjalankan poraktek agama dan keyakinan mereka, kecuali urusan yang Tuhan Allah mengharamkan dan tiada terdapat sesuatu dalil dari Kitab-Nya Tuhan Allah dan tiada sunnat Rasulullah saw, dan tidak ada dalam mazhabnya orang dulu-dulu yang saleh-saleh, dan tidak dari sabda salah satu imam empat.[15]

Surat resmi balasan Raja Saudi kepada NU
 Untuk menghindari berbagai interpretasi dari berita-berita yang berkembang tentang isi surat Raja Ibn Sa’ud, baik dari kalangan NU maupun non NU, maka di sini dikutip secara utuh surat resmi Raja Saudi kepada NU:

بسم الله الرحمن الرحيم

KERAJAAN HIJAZ, NEJD DAN SEKITARNYA


Nomor: 2082 – Tanggal 24 Dzulhijjah 1346H.


Dari : Abdul Aziz bin Abdur Rahman Al-Faisal
Kepada Yth. Ketua Organisasi Nahdlatul Ulama di JawaSyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dan Sekretarisnya Syaikh Alawi bin Abdul Aziz ( semoga Allah melindungi mereka).

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

Surat saudara tertanggal 5 Syawwal 1346H telah sampai kepada kami. Apa yang saudara sebutkan telah kami fahami dengan baik, terutama tentang rasa iba saudara terhadap urusan ummat Islam yang menjadi perhatian suadara, dan delegasi yang saudara tugaskan yaitu H. Abdul Wahab, Sekretaris I PBNU, dan Ustadz Syaikh Ahmad Ghanaim Al-Amir, Penasihat PBNU telah kami terima dengan membawa pesan-pesan dari saudara.

Adapun yang berkenaan dengan usaha mengatur wilayah Hijaz, maka hal itu merupakan urusan dalam negeri Kerajaan Saudi Arabia, dan Pemerintah dalam hal itu berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan segala kemudahan bagi jemaah haji di Tanah Suci, dan tidak pernah melarang seorang pun untuk melakukan amal baik yang sesuai dengan Syari’at Islam.

Adapun yang berkenaan dengan kebebasan orang, maka hal itu adalah merupakan suatu kehormatan, dan alhamdulillah, semua Ummat Islam bebas melakukan urusan mereka, kecuali dalam hal-hal yang diharamkan Allah, dan tidak ada dalil yang menghalalkan perbuatan tersebut, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, Mazhab Salaf Salih dan dari pendapat Imam empat Mazhab. Segala hal yang sesuai dengan ketentuan tersebut, kami lakukan dan kami laksanakan, sedang hal-hal yang menyelisihinya, maka tidak boleh taat untuk melakukan perbuatan maksiat kepada Allah Maha Pencipta.

Tujuan kita sebenarnya adalah da’wah kepada apa yang dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw dan inilah agama yang kami lakukan kepada Allah. Alhamdulillah kami berjalan sesuai dengan faham ulama Salaf yang Salih, mulai dari Sahabat Nabi hingga Imam empat Mazhab.Kami memohon kepada Allah semoga memberi taufiq kepada kita semua ke jalan kebaikan dan kebenaran serta hasil yang baik. Inilah yang perlu kami jelaskan. Semoga Allah melindungi saudara semua.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Tanda tangan dan stempel[16]

Demikianlah surat Raja Abdul Aziz membalas surat Ketua PBNU, 13 Juni 1928, 24 Dzulhijjah 1346H.Masalah Kitab Dalail al-Khairat

Nahdlatul Ulama, baik secara perorangan kiyai-kiyainya maupun secara organisasi, dalam sejarahnya telah dengan gigih mempertahankan wiridan dengan membaca Kitab Dalail al-Khairat. “Perjuangan” mereka itu bukan hanya di Indonesia di depan kalangan kaum pembaharu, namun bahkan sampai ke Raja Saudi dengan jalan mengirimkan surat yang di antara isinya mempertahankan wiridan dari kitab karangan orang mistik./ shufi dari Afrika Utara, Al-Jazuli itu.

Meskipun demikian, kaum pembaharu di Indonesia tidak menggubris upaya-upaya kaum Nahdliyin/ NU itu. Demikian pula Raja Saudi tidak menjawabnya secara khusus tentang Kitab Dalail al-Khairat itu.

Untuk memudahkan pembaca, maka di sini diturunkan fatwa tentang boleh tidaknya membaca atau mewiridkan Kitab Dalail al-Khairat itu dari Lajnah Daimah kantor Penelitian Ilmiyah dan Fatwa di Riyadh. Ada pertanyaan dan kemudian ada pula jawabannya, dikutip sebagai berikut:


Soal kelima dari Fatwa nomor 2392:

 Soal 5:
Apa hukum wirid-wirid auliya’ (para wali) dan shalihin (orang-orang shalih) seperti mazhab Qadyaniyah dan Tijaniyah dan lainnya? Apakah boleh memeganginya ataukah tidak, dan apa hukum Kitab Dalail al-Khairat?.



Jawab 5:

Pertama: Telah terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits nash-nash (teks) yang mengandung do’a-do’a dan dzikir-dzikir masyru’ah (yang disyari’atkan). Dan sebagian ulama telah mengumpulkan satu kumpulan do’a dan dzikir itu, seperti An-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar , Ibnu as-Sunni dalam Kitab ‘Amalul Yaum wallailah, dan Ibnul Qayyim dalam Kitab Al-Wabil As-Shoib, dan kitab-kitab sunnah yang mengandung bab-bab khusus untuk do’a-do’a dan dzikir-dzikir, maka wajib bagimu merujuk padanya.


Kedua: Auliya’ (para wali) yang shalih adalah wali-wali Allah yang mengikuti syari’at-Nya baik secara ucapan, perbuatan, maupun i’tikad (keyakinan). Dan adapun kelompok-kelompok sesat seperti At-Tijaniyyah maka mereka itu bukanlah termasuk auliya’ullah (para wali Allah). Tetapi mereka termasuk auliya’us syaithan (para wali syetan). Dan kami nasihatkan kamu membaca kitab Al-Furqon baina auliya’ir Rahman wa Auliya’is Syaithan, dan Kitab Iqtidhous Shirothil Mustaqiem Limukholafati Ash-habil Jahiem, keduanya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Ketiga: Dari hal yang telah dikemukakan itu jelas bahwa tidak boleh bagi seorang muslim mengambil wirid-wirid mereka dan menjadikannya suatu wiridan baginya, tetapi cukup atasnya dengan yang telah disyari’atkan yaitu yang telah ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Keempat: Adapun Kitab Dalail al-Khairat maka kami nasihatkan anda untuk meninggalkannya, karena di dalamnya mengandung perkara-perkara al-mubtada’ah was-syirkiyah (bid’ah dan kemusyrikan). Sedangkan yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terkaya darinya (tidak butuh dengan bid’ah dan kemusyrikan yang ada di dalam Kitab Dalail Al-Khairat itu).
Wabillahit taufiq. Washollallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad, wa alihi washohbihi wasallam.
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’:
Ketua Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota Abdullah bin Ghadyan, anggota Abdullah bin Qu’ud.[17] 


Dalam Kitab Dalail al-Khairat di antaranya ada shalawat bid’ah sebagai berikut:

اللهم صل على محمد حتى لايبقى من الصلاة شيء وارحم محمدا حتى لايبقى من الرحمة شيء .


“Ya Allah limpahkanlah keberkahan atas Muhammad, sehingga tak tersisa lagi sedikitpun dari keberkahan, dan rahmatilah Muhammad, sehingga tak tersisa sedikitpun dari rahmat.”

Lafadh bacaan shalawat dalam Kitab Dalail Al-Khairat di atas menjadikan keberkahan dan rahmat, yang keduanya merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, bisa habis dan binasa. Ucapan mereka itu telah terbantah oleh firman Allah (yang artinya):

“Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Al-Kahfi: 109).[18]

Dari kenyataan usulan resmi NU kepada Raja Saudi Arabia yang ingin agar tetap dibolehkan membaca dzikir dan wiridan yang diamalkan oleh sebagian orang NU di antaranya do’a-do’a dalam Kitab Dalailul Khiarat (tentunya termasuk pula dzikir-dzikir aneka aliran thariqat/ tarekat), dan kenyataan fatwa ulama resmi Saudi Arabia, maka sangat bertentangan. NU menginginkan untuk dilestarikan dan dilindungi.

Sedang ulama Saudi menginginkan agar ditinggalkan, karena mengandung bid’ah dan kemusyrikan, sedang penganjurnya yang disebut syaikh pun digolongkan wali syetan. Hanya saja kasusnya telah diputar sedemikian rupa, sehingga balasan surat Raja Saudi Arabia yang otentiknya seperti tercantum di atas, telah dimaknakan secara versi NU yang seolah misi NU itu sukses dalam hal direstui untuk mengembangkan hal-hal yang NU maui. Hingga surat Raja Saudi itu seolah jadi alat ampuh untuk menggencarkan apa yang oleh ulama Saudi disebut sebagai bid’ah dan kemusyrikan.

Di antara buktinya, bisa dilihat ungkapan yang ditulis tokoh NU, KH Saifuddin Zuhri sebagai berikut:

“Misi Kyai ‘Abdul Wahab Hasbullah ke Makkah mencapai hasil sangat memuaskan. Raja Ibnu Sa’ud berjanji, bahwa pelaksanaan dari ajaran madzhab Empat dan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada umumnya memperoleh perlindungan hukum di seluruh daerah kerajaan Arab Saudi. Siapa saja bebas mengembangkan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah ajaran yang dikembangkan oleh Empat Madzhab, dan siapa saja bebas mengajarkannya di Masjidil Haram di Makkah, di Masjid Nabawi di Madinah dan di manapun di seluruh daerah kerajaan".[19]

Apa yang disebut hasil sangat memuaskan, dan bebasnya mengembangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itulah yang dipasarkan oleh NU di masyarakat dengan versinya sendiri. Sebagaimana pengakuan Abdurrahman Wahid, didirikannya NU itu untuk wadah berorganisasi dan mengamalkan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri.

Versinya sendiri yaitu yang memperjuangkan lestarinya tradisi mereka di antaranya yang telah diusulkan dengan nyata-nyata bukan hanya di dalam negeri tetapi sampai di Saudi Arabia yaitu pengamalan wirid Kitab Dalail Al-Khairat dan dzikir-dzikir lainnya model NU di antaranya tarekat-tarekat. Akibatnya, sekalipun ulama Saudi Arabia secara resmi mengecam amalan-amalan yang diusulkan itu ditegaskan sebagai amalan yang termasuk bid’ah dan kemusyrikan, namun di dalam negeri Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya.

Seakan amalan-amalan itu telah mendapatkan “restu” akibat penyampaian-penyampaian kepada ummat Islam di Indonesia yang telah dibikin sedemikian rupa (bahwa misi utusan NU ke Makkah sukses besar dan direstui bebas untuk mengamalkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah) sehingga amalan-amalan itu semakin dikembangkan dan dikokohkan secara organisatoris dalam NU. Bahkan secara resmi NU punya lembaga bernama Tarekat Mu’tabarah Nahdliyin didirikan 10 Oktober 1957 sebagai tindak lanjut keputusan Muktamar NU 1957 di Magelang. Belakangan dalam Muktamar NU 1979 di Semarang ditambahkan kata Nahdliyin, untuk menegaskan bahwa badan ini tetap berafiliasi kepada NU.[20]

Setelah bisa ditelusuri jejaknya dari semula hingga langkah-langkah selanjutnya, maka tampaklah apa yang mereka upayakan –dalam hal ini didirikannya NU itu untuk apa-- itu sebenarnya adalah untuk melestarikan dan melindungi amalan-amalan yang menjadi bidikan kaum pembaharu ataupun Muslimin yang konsekuen dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Tanpa adanya organisasi yang menjadi tempat berkumpul dan tempat berupaya bersama-sama secara maju bersama, maka amalan mereka yang selalu jadi sasaran bidik para pembaharu yang memurnikan Islam dari aneka bid’ah, khurafat, takhayul, dan bahkan kemusyrikan itu akan segera bisa dilenyapkan bagai lenyapnya kepercayaan Animisme yang sulit dikembang suburkan lagi.

Menyadari akan sulitnya dan terancamnya posisi mereka ini baik di dalam negeri maupun di luar negeri terutama ancaman dari Saudi Arabia, maka mereka secara sukarela lebih merasa aman untuk bergandeng tangan dengan kafirin dan musyrikin, baik itu kafirin Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, maupun kafirin anti Kitab yaitu PKI (Komunis) dan anak cucunya, serta musyrikin yaitu Kong Hucu, Hindu, Budha; dan Munafiqin serta kelompok nasionalis sekuler anti syari’at Islam ataupun kelompok kiri anti Islam.

Untuk itulah dia lahir atau dilahirkan, sepanjang data dan fakta yang bisa dilihat dan dibuktikan, namun bukan berarti hanya untuk itu saja. Bagaimana pula kalau ini justru dijadikan alat oleh musuh Islam untuk kepentingan mereka?.


* SEMOGA MENJADI RENUNGAN BAGI PARA IKHWAN  *


* والله أعلم,وهو المستعان,وبه التوفيق *


--------------------------------------------------------------------------------

Referensi / Maraaji' :

[1] Pada tahun 1924 kekhalifahan di Turki dihapuskan oleh pemerintahan Mustafa Kemal Attaturk yang sekuler dengan menamakan pemerintahannya Republik Turki, diproklamirkan 19 Oktober 1923. Langkah pertama sekulerisasi adalah penghapusan Islam sebagai agama resmi negara, kedua penghapusan lembaga kesultanan, dan berikutnya penghapusan kekhalifahan, menyusul digantinya syari’at Islam dengan hukum positif ala Barat. Lalu digantinya huruf Arab dengan huruf Latin dan dilarangnya “pakaian Arab”. Rakyat Turki, terutama aparat pemerintah, harus menggunakan pakaian ala Eropa. Bacaan ibadah harus menggunakan bahasa Turki, namun tidak berlangsung lama, karena protes datang dari berbagai ulama di dalam maupun luar negeri. (lihat Leksikon Islam, Pustazet Perkasa, Jakarta, 1988, jilid 2, halaman 733).

[2] Muktamar Dunia Islam itu disebut Kongres Khilafah yang akan diadakan di Kairo pada bulan Maret 1925. Kongres luar biasa di Surabaya (Desember 1924, yang diikuti Wahab Hasbullah tersebut di atas, pen) membicarakan perutusan Indonesia ke Kongres Khilafah di Kairo. Lalu dalam bulan Agustus 1925 diadakan kongres bersama SI (Sarikat Islam) – Al-Islam di Yogyakarta. Cokroaminoto (dari CSI) dan KH Mas Mansur (dari Muhammadiyah) ditunjuk sebagai utusan Komite Kongres Al-Islam yang akan diadakan pada 1 Juni 1926 di Makkah atas prakarsa Raja Ibn Sa’ud. Soal pemerintahan di Makkah dan Madinah akan menjadi acara. (Lihat Leksikon Islam, 1, halaman 340).

[3] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, LP3ES, Jakarta, cetakan pertama, 1986, halaman 67, merujuk pula pada Sekaly, Les deux congres generaux de 1926. Pada saat itu gelar Wahabi diberikan kepada semua kamum ”modernis”, yang tidak lagi mau terikat kepada mazhab tertentu. Orang Syafi’i takut, bahwa maqam Imam Syafi’i akan dibongkar dan bahwa ajarannya tidak lagi boleh diajarkan di Mekkah, padahal Mekkah untuk kelompok tradisional pada waktu itu tetap merupakan perguruan yang paling disukai.

[4] Steenbrink, ibid, halaman 68.

[5] H Endang Saifuddin Anshari, MA, Wawasan Islam, Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1986, halaman 263- 264.

[6] Leksikon Islam, 2, halaman 520.

[7] M Said Budairy, 75 Tahun NU, Ujian Berat Khittah, Republika, Rabu 31 Januari 2001, halaman 6.

[8] Deliar Noer mengutip Bendera Islam, 22 Januari 1925. Konferensi tersebut ditunda oleh karena peperangan masih berkecamuk di Hijaz, sehingga akan sukar bagi negeri Arab ini untuk datang. Lagi pula, beberapa negeri Islam lain meminta panitia bersangkutan di Kairo untuk mendapat berbagai macam keterangan tentang konferensi dan agar mengirim missi ke negeri-negeri tersebut. Di samping itu Mesir juga menghadapi pemilihan umum.

[9] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, cetakan ketiga, 1985, halaman 242-243.

[10] Menurut catatan Deliar Noer, ini merupakan koleksi do’a yang berasal dari seorang mistikus Afrika Utara di abad ke-15, Al-Jazuli. Taha Husein, seorang pengarang terkenal di Mesir dan pernah menjadi menteri pendidikan negeri tersebut, ketika masa mudanya menjadi murid Muhammad Abduh di Al-Azhar, pernah mengecam ayahnya membaca Dalail al-Khairat. Katanya ini menyebabkan “waktu terbuang secara bodoh”. Lihat Taha Husein, Al-Ayyam, II (Kairo: Dar al-Maarif, tiada tanggal), hal. 123. Lihat pula masalah Dalail al-Khairat pada buku yang Anda baca ini selanjutnya.

[11] Deliar Noer, ibid, halaman 243, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun I No. I (1 Rajab 1347H; yaitu 14 Desember 1928), hal 9.

[12] Deliar, ibid hal 244, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, ibid, hal 9.

[13] Deliar, ibid, hal 244.

[14] Deliar Noer, ibid, halaman 245

[15] Surat ini bertanggal 24 Zulhijjah 1346 H (13 Juni 1928), No 2082, Lihat Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun 1, No 1, dikutip Deliar Noer, halaman 246.

[16] Al-Arkhabil, Tahun 5, vol 8, Sya’ban 1420H Nopember 1999, LIPIA, Jakarta, halaman 22.

[17] Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lilbuhuts al-‘ilmiyyah wal Ifta’, Darul ‘Ashimah, Riyadh, cetakan 3, 1419H, halaman 320-321.

[18] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Minhajul Firqah an-Najiyah wat Thaifah al-Manshuroh, diterjemahkan Ainul Haris Umar Arifin Thayib Lc menjadi Jalan Golongan yang Selamat, Darul Haq, Jakarta, cetakan I, 1419H, 171-172.

[19] KH Saifuddin Zuhri, Sejarah kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, PT Al-Ma’arif, Bandung, cetakan ketiga, 1981, halaman 611.

[20] Hartono Ahmad Jaiz, Mendudukkan tasawuf, Gus Dur Wali? , Darul Falah, Jakarta, cetakan kedua, 1420H/ 2000M, halaman 121.

Riyadh,.,07-03-1433 H,.,al Muwafiq ,.,30-01-2012 M,.

Kamis, 26 Januari 2012

HAKEKAT AHMAD DHINEJAD

Hakekat Ahmadinejad: Mengungkap tabir hitam pemimpin syi’ah Ahmadinejad

Foto arrhmh dan elderofziyon
Siapa yang tak kenal sosok Ahmadinejad, seorang presiden Iran yang berani terhadap hegemoni Amerika Serikat dan figur yang sangat bersahaja dalam kehidupannya. Banyak dari kalangan kaum muslimin mengelu-elukan seorang Ahmadinejad yang dianggap representasi pemimpin sejati.
Namun, masyarakat muslim sangat jarang mengetahui sosok sejati Ahmadinejad, baik sebagai pribadi ataupun sebagai presiden Iran dengan posisi pengambil kebijakan.
Sebelum membahas lebih jauh terkait sikap Ahmadinejad terhadap Israel, ada baiknya kita mengulas asal-usul pria tersebut.
Mahmoud Ahmadinejad atau bisa dibaca Ahmadinezhad (bahasa Persia: ; lahir 28 Oktober 1956) adalah Presiden Iran yang keenam. Jabatan kepresidenannya dimulai pada 3 Agustus 2005. Ia pernah menjabat walikota Teheran dari 3 Mei 2003 hingga 28 Juni 2005 waktu ia terpilih sebagai presiden. Ia dikenal secara luas sebagai seorang tokoh konservatif yang mempunyai pandangan Islamis.
Lahir di desa pertanian Aradan, dekat Garmsar, sekitar 100 km dari Teheran, sebagai putra seorang pandai besi, keluarganya pindah ke Teheran saat dia berusia satu tahun. Dia lulus dari Universitas Sains dan Teknologi Iran (IUST) dengan gelar doktor dalam bidang teknik dan perencanaan lalu lintas dan transportasi.
Pada tahun 1980, dia adalah ketua perwakilan IUST untuk perkumpulan mahasiswa, dan terlibat dalam pendirian Kantor untuk Pereratan Persatuan (daftar-e tahkim-e vahdat), organisasi mahasiswa yang berada di balik perebutan Kedubes Amerika Serikat yang mengakibatkan terjadinya krisis sandera Iran.
Pada masa Perang Iran-Irak, Ahmedinejad bergabung dengan Korps Pengawal Revolusi Islam pada tahun 1986. Dia terlibat dalam misi-misi di Kirkuk, Irak. Dia kemudian menjadi insinyur kepala pasukan keenam Korps dan kepala staf Korps di sebelah barat Iran. Setelah perang, dia bertugas sebagai wakil gubernur dan gubernur Maku dan Khoy, Penasehat Menteri Kebudayaan dan Ajaran Islam, dan gubernur provinsi Ardabil dari 1993 hingga Oktober 1997.
Ahmadinejad lalu terpilih sebagai walikota Teheran pada Mei 2003. Dalam masa tugasnya, dia mengembalikan banyak perubahan yang dilakukan walikota-walikota sebelumnya yang lebih moderat dan reformis, dan mementingkan nilai-nilai keagamaan dalam kegiatan-kegiatan di pusat-pusat kebudayaan. Selain itu, dia juga menjadi semacam manajer dalam harian Hamshahri dan memecat sang editor, Mohammad Atrianfar, pada 13 Juni 2005, beberapa hari sebelum pemilu presiden, karena tidak mendukungnya dalam pemilu tersebut.
Keturunan Yahudi
Pada 2009 Telegraph.co.uk—harian berita dari Inggris—menurunkan berita yang cukup mengejutkan. Sebuah foto Presiden Iran Ahmadinejad sambil mengangkat kartu identitasnya selama pemilihan umum Maret 2008 dengan jelas menunjukkan keluarganya memiliki akar Yahudi. Dokumen close-up itu mengungkapkan dia sebelumnya dikenal sebagai Sabourjian – atau kain tenun dalam arti nama bahasa Yahudi.
Sebuah catatan pendek yang tertulis di kartu itu menunjukkan keluarganya berubah nama menjadi Ahmadinejad, ketika mereka dikonversi untuk memeluk Islam setelah kelahirannya. Sabourjian berasal dari Aradan, tempat kelahiran Ahmadinejad, dan nama itu diturunkan dari “penenun dari Sabour”, nama untuk selendang Tallit Yahudi di Persia. Nama ini, ada dalam daftar nama cipta untuk orang Yahudi di Iran, menurut Departmen Dalam Negeri Iran.
Ali Nourizadeh, dari Pusat Studi Arab dan Iran, mengatakan: “Aspek latar belakang Ahmadinejad menjelaskan banyak tentang dirinya. Dengan membuat pernyataan-pernyataan anti-Israel, ia sedang mencoba untuk menumpahkan kecurigaan tentang hubungannya dengan Yahudi. Ia merasa rentan dalam masyarakat Syiah yang radikal.”
Seorang ahli yang berpusat di London Yahudi Iran mengatakan, “Dia telah mengubah namanya karena alasan agama, atau setidaknya orangtuanya,” kata kelahiran Yahudi Iran yang tinggal di London itu . “Sabourjian dikenal sebagai nama Yahudi di Iran.”
Ahmadinejad tidak menyangkal namanya berubah ketika keluarganya pindah ke Teheran pada tahun 1950-an. Tapi dia tidak pernah mengungkapkan perubahan berhubungan dengan pergantian keyakinan. Ahmadinejad tumbuh menjadi insinyur yang memenuhi syarat dengan gelar doktor dalam manajemen. Sebelum terjun jadi politisi, Ahmadinejad bertugas sebagai tentara pada Pengawal Revolusi.
Selama debat presiden di televisi tahun ini, ia dipancing untuk mengakui bahwa namanya telah berubah tapi ia mengabaikannya. Mehdi Khazali, seorang blogger internet, yang menyerukan penyelidikan akar nama Presiden Ahmadinejad ditangkap musim panas ini.

Sikap Ahmadinejad terhadap Islam
Timbulah pertanyaan, apakah darah yahudi yang mengalir di diri Ahmadinejad, membawa serta ideology dan sifat Yahudi yang membenci  Islam dan kaum muslimin?.
Ternyata dugaan anda tidak salah, Ahmadinejad sebelumnya mengeluarkan pernyataan yang terang-terangan menghina dua orang sahabat Rasulullah Muhammad saw.
Kecaman dan hinaan Ahmadinejad itu disampaikan dalam sebuah acara televisi secara langsung di Shabaka 3, saluran televisi Iran, hanya beberapa hari sebelum pelaksanaan pemilu Iran.
Seperti yang diketahui, Iran yang berbasis Syiah ini sudah sejak lama mempersempit ruang gerak para jamaah ahli Sunnah (kaum Sunni). Di bawah kepemimpinan Ahmadinejad, bahkan para jamaah Sunni mengalami penderitaan yang belum pernah dialami sejak Revolusi Syiah Rafidhah Khomeini.
 
Dalam acara itu, Ahmadinejad dengan lugas mengatakan bahwa Talhah dan Zubair adalah dua orang pengkhianat. “Talhah dan Zubair adalah dua orang sahabat Rasul, tapi setelah kepergian Rasul, mereka berdua kembali kepada ajaran sebelumnya dan mengikuti Muawiyah!”
Padahal dalam sejarah, Talhah dan Zubair, dua orang sahabat Rasul itu, tak pernah bertempur dengan Muawiyah, karena keduanya meninggal lama sebelum peperangan Jamal di tahun ke-36 kekhalifahan Islam di mana Muawiyah menjadi rajanya.
Pernyataan Ahmadinejad ini sudah jelas kemana arahnya, yaitu membuat sebuah perbandingan atas sahabat Rasul dulu dengan kejadian politik saat ini di Iran—berkaitan dengan rivalnya Mousavi. Sebelumnya, Ahmadinejad juga sangat sering menghina sekitar 15 juta penganut Sunni di Iran. Inilah sosok asli Ahmadinejad yang merupakan musuh terbuka terhadap para sahabat Rasul.
Bukan sebagai pejuang Islam, seperti yang selama ini diduga oleh sebagian kaum muslimin dan pendukungnya yang bodoh. Mengapa demikian? Meminjam Istilah Ustadz Hartono Ahmad Jais, tidak mungkin pejuang merobohkan masjid-masjid justru seharusnya pejuang Islam membangun masjid sebagai tempat bertaqarrub kepada Allah.
Sikap Iran terhadap Islam (Sunni) lebih kejam dibanding sikap negeri-negeri kafir sekalipun. Hingga di Iran terutama ibukotanya, Teheran, tidak ada masjid Islam (Sunni). Hingga Ummat Islam (Sunni) bila berjum’atan maka ke kedutaan-kedutaan Negara-negara Timur Tengah di Teheran. Tidak ada pula Madrasah Islam (Sunni). Karena semuanya sudah dihancurkan.Para ulama Sunni pun sudah disembelihi atau dibunuhi. (Lihat Ma’satu Ahlis Sunnah fi Iran, oleh Abu Sulaiman Abdul Munim bin Mahmud Al-Balusy, diindonesiakan dengan judul Kedholiman Syi’ah terhadap Ahlus Sunnah di Iran, LPPI, Jakarta, 1420H/ 1999).
Di Iran tidak ada pula anggota parlemen dari Islam (Sunni) apalagi menteri. Padahal dari Yahudi diberi prioritas jadi anggota parlemen, punya tempat-tempat ibadah (sinagog) dan sekolah-sekolah Yahudi di Iran.
Ulama Syiah terkemuka Iran, Taskhiri, pernah ditanya wartawan di satu negeri di Afrika Utara, apakah tidak boleh di Iran didirikan Masjid Islam Sunni. Pertanyaan itu dijawab, sampai sekarang belum saatnya.
Demikianlah kenyataan di Iran. Ummat Islam Sunni sekitar 20 persen namun tidak diberi hak-haknya alias
Ahmadinejad sujud didepan kubur Khumane
telah dirampas, dan bahkan lebih kejam dibanding sikap orang kafir di berbagai negeri yang kenyataannya rata-rata masih ada di mana-mana masjid Ummat Islam (Sunni). Sedang di Iran justru masjid-masjid Islam Sunni dihancurkan, ulamanya dibunuhi. Mulutnya berkoar mengecam Yahudi, namun tindakannya justru menikam Islam (Sunni alias Ahlus Sunnah).
Tak hanya demikian, pada masa pemerintahan Ahmadinejad perempuan-perempuan sunni yang ditahan rezim Syi’ah Iran ini mengalami penderitaan yang sangat berat dengan dimut’ah paksa oleh milisi Basij terlebih dahulu sebelum dihukum mati, karena keyakinan syi’ah mereka yang dihukum mati dalam keadaan perawan akan masuk surga, dan mereka pun tidak menginginkan surga tersebut diraih oleh perempuan sunni.
Sikap Ahmadinejad terhadap Al Aqsha
Hapus peta Israel di dunia! Itulah kata-kata Ahmadinejad yang pernah menggemparkan jagad politik international. Sungguh berani, tapi sayangnya tidak diiringi dengan perilaku yang serupa.
Mahmud Ahmadinejad pernah memberi hadiah kepada seorang penulis buku sekaligus seorang ulama besar Syiah abad ini, yakni  Jafar Murtada Al Amili (lihat foto), yang telah menulis sebuah buku berjudul ”Ayna Masjid al-Aqsha?” (Di Manakah Masjid Al Aqsha?) yang intinya mengungkapkan bahwa keberadaan Masjid Al-Aqsha yang sesungguhnya bukanlah di bumi Al-Quds, melainkan di langit . Dan menganggap masjid mereka di Kuffah lebih baik dai Al-Aqsha seperti tertulis dalam kitab rujukan Syiah Biharul Anwar.Buku tersebut ditetapkan yang terbaik di Iran.
Pemberian hadiah tersebut menyiratkan bahwa, Ahmadinejad menyetujui isi buku tersebut yang menolak klaim bahwa sahabat Umar bin Khottob Ra telah membebaskan Al Aqsha dari bangsa Romawi, karena dianggap Rasulullah SAW tidak melakukan perjalanan darat ke Al Aqsha tetapi pada saat perjalanan menuju ke langit(mi’raj).
Lantas pertanyaannya, apakah mungkin Ahmadinejad akan terlibat dalam perjuangan pembebasan masjid Al Aqsha sedangkan ia berpendapat masjid tersebut berada diatas langit ?
Hubungan Gelap Dengan Israel
Seorang ulama Syiah mengatakan presiden Iran ingin menjalin “persahabatan dengan Israel,” . Menurut ulama Syiah Mahmud Nubia , penasehat teras atas Ahmadinejad, Esfandiar Rahim Mashaei tiga tahun lalu menyatakan bahwa Iran harus memiliki “hubungan yang bersahabat” dengan Negara Yahudi, namun Ahmadinejad menahan diri dari persoalan ini di depan umum karena pemimpin tinggi Syiah Iran Ayatollah Ali Khamenei sangat keberatan dengan hal ini.
Nubia lebih lanjut menyatakan bahwa Presiden Iran secara pribadi mengatakan kepadanya bahwa ia mendukung pernyataan Mashaei, tapi tidak bisa berkata apa-apa karena menghormati pemimpin tertinggi Syiah Iran, Ali Khamenei.
Lebih dari 200 Perusahaan Israel Menjalin Hubungan dengan Iran. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, tanpa henti mengajarkan perlunya ada tindakan tegas terhadap Iran untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir, namun dirinya tidak mampu untuk menghentikan perusahaan Israel dan individu Israel yang secara langsung maupun tidak langsung melakukan perdagangan dengan Iran.
Ia juga tidak bertindak tegas terhadap perusahaan internasional dan perusahaan-perusahaan Israel yang beroperasi di Iran, sambil mempertahankan kontrak besar Iran dengan perusahaan Israel – termasuk badan-badan negara seperti Electric Corporation dan Otoritas Bandara.
Ia juga tidak bertindak tegas terhadap perusahaan internasional dan perusahaan-perusahaan Israel yang beroperasi di Iran, sambil mempertahankan kontrak besar Iran dengan perusahaan Israel – termasuk badan-badan negara seperti Electric Corporation dan Otoritas Bandara.
Sedikitnya 200 perusahaan internasional yang beroperasi di Israel memelihara hubungan perdagangan yang luas dengan Iran. Hubungan ini termasuk investasi dalam industri energi Iran, yang merupakan sumber penghasilan utama Iran dan berfungsi untuk menyalurkan dana untuk mengembangkan rudal, program nuklir dan senjata konvensional lainnya.
Sejatinya, menurut Husain Ali Hasyimi, dalam tulisannya, Al-Harbul Musytarakah Iran wa Israil bahwa sejak zaman Syiah Pahlevi, Iran telah menjalin hubungan perdagangan dengan Zionis Yahudi. Dan hubungan dagang ini berkelanjutan hingga setelah revolusi Syiah yang dipimpin oleh Khumaini.
Bahkan pada tahun 1980-1985, Zionis Yahudi merupakan Negara pemasok senjata terbesar ke Iran. Sandiwara “permusuhan” Iran dan Yahudi mulai terbongkar, ketika pesawat kargo Argentina yang membawa persenjataan dari Yahudi ke Iran tersesat, sehingga masuk ke wilayah Uni Soviet, dan akhirnya di tembak jatuh oleh pasukan pertahanan Uni Soviet. Dikisahkan, Iran membeli persenjataan dari Yahudi seharga 150 juta dolar Amerika, sehingga untuk mengirimkan seluruh senjata tersebut, dibutuhkan 12 kali penerbangan.
Lebih dari itu, Amerika juga pernah terlibat skandal dengan Iran dimana Ronald Reagen, (yang kala itu menjadi Capres) pernah berpura-pura memerangi Khomeini, akan tetapi di belakang layar justru Amerika gencar mengirimkan senjata-senjata mutakhir untuk memenangkan Khomeini.
Karikatur Skandal Iran Gate
Lewat investigasi berkepanjangan akhirnya skandal Iran Gate ini pun akhirnya terbongkar. Reagan dianggap menjurus pada tindakan kriminal, terlebih telah melibatkan CIA dan Partai Republik dengan seluruh kegiatannya menjalin hubungan dengan Iran. Reagan pun akhirnya membuat pernyataan resmi kepresidenan tentang hubungan AS-Iran. Dikatakan tidak ada masalah apa pun dalam hubungan kedua negara. Negeri ini juga tidak lagi memberi indikasi teror yang mengancam AS.
Semakin membingungkan memang, bagi kita yang tidak mengetahui karakter sejati Syi’ah Rafidhah. Fakta yang terungkap ini, menegaskan kembali kepada kita bahwa kesederhanaan dan keberanian Ahmadinejad dalam menghadapi barat, bukanlah hakekat sebenarnya sikap mereka.
Apalagi, Ahmadinejad memang berulangkali tertangkap basah tengah bertemu dengan para pemimpin Yahudi. Ahmadinejad memiliki hubungan yang harmonis dengan Yahudi. Semasa berada di New York, presiden Iran tersebut terlihat dengan antusias menyambut kedatangan sejumlah Rabbi Yahudi AS.
Islam sendiri mengajarkan  kepada kita, bahwa untuk menilai seseorang harus memulainya dari aqidah orang tersebut terlebih dahulu, bukan hanya sekedar akhlaknya yang baik, ataupun karakternya yang sangat bersahaja.
Karena jika hanya menilai dari atribut kepribadian, maka banyak orang-orang kafir yang memiliki pula kebaikan yang hebat terhadap kemanusiaan. Sebutlah Bunda Theresa yang menjadi symbol pembelaan terhadap orang-orang lema di India.
Keutamaan dan derajat seseorang didalam Islam, diukur dari aqidah dan tauhid orang tersebut kepada Allah SWT. Sebanyak apapun seseorang melakukan kebaikan, tetapi jika tidak memiliki iman, maka amal mereka seperti debu dimata Allah SWT.
Inilah sosok sejati Ahmadinejad, yang mungkin anda pernah kagumi. Akan tetapi, sebagai seorang Rafidi dan keturunan Yahudi. Ia bertaqiyyah menyembunyikan permusuhan terhadap Islam hingga kini.
Wallahu’alam bisshowab.
(bilal/arrahmah.com) Bilal Senin, 23 Januari 2012 18:10:48
(nahimunkar.com)

MUI AKAN KELUARKAN FATWA SYIAH SESAT

MUI Pusat Akan Keluarkan Fatwa Sesat Ajaran Syiah

Selasa siang (24/01) 27 para ulama se Jawa Timur melakukan rapat mengenai konflik Syiah di Jawa Timur Indonesia dengan MUI Pusat, di kantor MUI Jakarta Pusat. Delegasi tersebut terdiri dari MUI Seluruh Jatim, Pengurus NU Jatim, dan juga Persatuan Ulama Madura (PASRA).
Dalam pertemuan tersebut, MUI Jatim menyampaikan fatwa kesesatan Syiah yang telah mereka buat. Ini betujuan agar temuan ini bisa ditindaklanjuti MUI Pusat. Menurut KH. Abdusshomad selaku Ketua MUI Jatim, Syiah dan Sunni tidak bisa disatukan karena banyaknya perbedaan pada wilayah ushul baik dalam literatur maupun data yang ditemukan di lapangan.
“Sholatnya berbeda tidak seperti kita, misalnya Maghrib dengan Isya digabung jadi satu. Sistem wudhunya juga beda. Jadi banyak sekali,” ujarnya kepada sejumlah wartawan.
Hal itu juga berlaku dalam melihat sebuah hadis dan sikap Syiah terhadap para sahabat. “Bagaimana mungkin mengaku Islam tapi tidak mau mengambil hadis dari kutubus sittah. Mencaci maki sahabat. Tidak mengakui khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman,” tegasnya.
Beliau malah mempertanyakan apa sebenarnya target Syiah di Indonesia. “Apa untungnya kalau mereka mengaku orang Islam, ingin mensyiahkan orang sunni di Indonesia. Apa untung dan targetnya?” tambahnya.
Habib Ahmad Zein Al Kaff yang sangat fokus dalam membongkar kesesatan akidah Syiah mengaku khawatir jika Syiah tidak dilarang akan memicu pertumpahan darah. “Yang kami takutkan jika Syiah di Madura ini terus berkembang, apa yang terjadi di Timur Tengah, di Iran, dan Pakistan dimana Sunni dan Syiah saling bunuh juga terjadi di Indonesia. Maka itu, pemerintah harus cepat-cepat turun tangan,” tandasnya.
Ketua MUI Pusat KH. Ma’ruf Amin mengatakan banyak mendapatkan data dan fakta yang berharga dari MUI Jatim. Selama ini MUI Pusat memang kekurangan dalam data-data lapangan mengenai kesesatan Syiah. “Dan hari ini (kemarin, red.) MUI Jatim telah memberikan data-data yang berharga,” tegasnya.
Beliau mengatakan semoga dalam satu minggu ini sudah didapatkan keputusan, karena selama ini MUI hanya butuh data lapangan. “Kita harapkan Minggu depan.” pungkasnya. (Pz)
ERAMUSLIM > BERITA NASIONAL
http://www.eramuslim.com/berita/nasional/mui-pusat-akan-mengeluarkan-fatwa-kesesatan-syiah.htm
Publikasi: Rabu, 25/01/2012 11:31 WIB
Ilustrasi/ hsm

membongkar kesesaan syi'ah

Membongkar Kesesatan SYIAH

Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc

Serupa tapi tak sama. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Namun jika ditelusuri -terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga, tidak mungkin disatukan.

APA ITU SYI’AH ?

Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji)

Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm)

Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani)

Dan tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.

Rafidhah , diambil dari yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna , meninggalkan (Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829). Sedangkan dalam terminologi syariat bermakna: Mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakr dan ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, berlepas diri dari keduanya, dan mencela lagi menghina para shahabat Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, 1/85, karya Abdullah Al-Jumaili)

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar’.” (Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)

Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)

Asy-Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ari berkata: “Zaid bin ‘Ali adalah seorang yang melebihkan ‘Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakr dan ‘Umar, dan memandang bolehnya memberontak[1] terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka: “Kalian tinggalkan aku?” Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36).

Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah.

Rafidhah ini terpecah menjadi beberapa cabang, namun yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan kali ini adalah Al-Itsna ‘Asyariyyah.

SIAPAKAH PENCETUSNYA ?

Pencetus pertama bagi faham Syi’ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan.[2]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa, pen).” (Majmu’ Fatawa, 4/435)

SESATKAH SYI’AH RAFIDHAH ?

Berikut ini akan dipaparkan prinsip (aqidah) mereka dari kitab-kitab mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh mana kesesatan mereka.

a. Tentang Al Qur’an
Di dalam kitab Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata : “Sesungguhnya Al Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (ada) 17.000 ayat.”

Di dalam Juz 1, hal 239-240, dari Abu Abdillah ia berkata: “…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihas salam, mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata: ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ‘Mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al Qur’an kalian…’.”(Dinukil dari kitab Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir).

Bahkan salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang menjelaskan bahwa Al Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan penyimpangan.

b. Tentang shahabat Rasulullah
Diriwayatkan oleh Imam Al-Jarh Wat Ta’dil mereka (Al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hal. 12-13) dari Abu Ja’far (Muhammad Al-Baqir) bahwa ia berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata: “Siapa tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi’ah Al-Imamiyyah Al-Itsna ‘Asyariyyah Fi Mizanil Islam, hal. 89)

Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.” (Al-Kafi, 8/248, dinukil dari Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 45, karya Ihsan Ilahi Dzahir)

Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir Al-Husaini Al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 46)

Adapun shahabat Abu Bakr dan ‘Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan do’a mereka (Miftahul Jinan, hal. 114), wirid laknat untuk keduanya: Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka…(yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah)(Dinukil dari kitab Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib)

Mereka juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ Al-Majusi, si pembunuh Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang bergelar “Baba Syuja’uddin” (seorang pemberani dalam membela agama). Dan hari kematian ‘Umar dijadikan sebagai hari “Iedul Akbar”, hari kebanggaan, hari kemuliaan dan kesucian, hari barakah, serta hari suka ria. (Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18)

Adapun ‘Aisyah dan para istri Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam lainnya, mereka yakini sebagai pelacur -na’udzu billah min dzalik-. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal (hal. 57-60) karya Ath-Thusi, dengan menukilkan (secara dusta) perkataan shahabat Abdullah bin ‘Abbas terhadap ‘Aisyah: “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah…” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin Al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin, hal. 11, karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha)

Demikianlah, betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu, Al-Imam Malik bin Anas berkata: “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para shahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam ) adalah seorang yang jahat, karena kalau memang ia orang shalih, niscaya para shahabatnya adalah orang-orang shalih.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimirrasul, hal. 580)

c. Tentang Imamah (Kepemimpinan Umat)
Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama[3]. Diriwayatkan dari Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata: “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia berkata: “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174)

Imamah ini (menurut mereka -red) adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu dan keturunannya sesuai dengan nash wasiat Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin dari Abu Bakr, ‘Umar dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 16-17)

Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia Al-Imam Al-Mahdi, sang penguasa zaman -baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam- yang dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/192)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah, benar-benar secara rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.

d. Tentang Taqiyyah
Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq, dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 80)

Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam Al-Kaafi (2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar Al-A’jami: “Wahai Abu ‘Umar, sesungguhnya sembilan per sepuluh dari agama ini adalah taqiyyah, dan tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/196). Oleh karena itu Al-Imam Malik ketika ditanya tentang mereka beliau berkata: “Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.” Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi)

e. Tentang Raj’ah
Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli tafsir’ mereka, Al-Qummi ketika menafsirkan surat An-Nahl ayat 85, berkata: “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah, kemudian menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: ‘Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) serta para imam ‘alaihimus salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab Atsarut Tasyayyu’ ‘Alar Riwayatit Tarikhiyyah, hal. 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali)

f. Tentang Al-Bada’
Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Bada’ ini terjadi pada Allah Subhanahu Wata’ala. Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (1/111), meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata): “Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi Al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/252). Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi[4].

Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen) di masa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, dan lebih utama dari masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 192)

PERKATAAN ULAMA TENTANG SYI’AH RAFIDHAH

Asy-Syaikh Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dalam kitabnya Al-Intishar Lish Shahbi Wal Aal (hal. 100-153) menukilkan sekian banyak perkataan para ulama tentang mereka. Namun dikarenakan sangat sempitnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.

Al-Imam ‘Amir Asy-Sya’bi berkata: “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi’ah.” (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri ketika ditanya tentang seorang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar, beliau berkata: “Ia telah kafir kepada Allah.” Kemudian ditanya: “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata: “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala, 7/253)
Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i, telah disebut di atas.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah) itu orang Islam.” (As-Sunnah, 1/493, karya Al-Khallal)
Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi, dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh -red). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal. 125)
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi berkata: “Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari shahabat Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita haq, dan Al Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur’an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Sungguh mereka mencela para saksi kita (para shahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah.” (Al-Kifayah, hal. 49, karya Al-Khathib Al-Baghdadi)

Demikianlah selayang pandang tentang Syi’ah Rafidhah, mudah-mudahan bisa menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran…Amin.

Wallahu ‘alam Bish Shawab.

Catatan Kaki

[1] Pandangan ini tentunya bertentangan dengan ajaran Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana yang terdapat dalam banyak sabda beliau, diantaranya dalam SHAHIH MUSLIM, kitabul Imarah.
[2] Untuk lebih rincinya tentang Abdullah Bin Saba’, lihat Al Kamil Fit Tarikh 3/154 karya Ibnul Atsir, Al Bidayah Wa Nihayah 7/176 karya Ibnu Katsir, dan Badzul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati Lil Yahudi karya Abdullah Al Jumaili 1/98-164.
[3] Menurut mereka rukun Islam juga ada lima, akan tetapi mereka menggant dua kalimat syahadat dengan Imamah.
[4] Secara jujur ada kemiripan antara prinsip (aqidah) mereka dengan prinsip (aqidah) Yahudi, sebagaimana yang dinyatakan oleh para Ulama. Untuk lebih rincinya lihat kitab Badzul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati Lil Yahudi karya Abdullah Al Jumaili.

Sumber: Majalah Asy Syari’ah Halaman 5-9
Vol I/No 05/Februari 2004/Dzulhijjah 1424 H

Kamis, 19 Januari 2012

Tahlilan dalam pandangan NU,PERSIS,AL-IRSYAD,WALI SONGO,ULAMA SALAF dan 4 MAZHAB

Tahlilan dalan pandangan NU,PERSIS,AL IRSYAD,WALI SONGO,ULAMA SALAF dan 4MAZHAB

Tahlilan dalam Pandangan NU, Muhammadiyah, PERSIS , Al Irsyad, Wali Songo, Ulama Salaf dan 4 Mazhab

Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 Mahzab Tentang Bid'ahnya Tahlilan

Segala puji bagi Allah, sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Do’a dan shodaqoh untuk sesama muslim yang telah meninggal menjadi ladang amal bagi kita yang masih di dunia ini sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada di alam sana. Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, Islam membimbing kita menyikapi sebuah kematian
sesuai dengan hakekatnya yaitu amal shalih, tidak dengan hal-hal duniawi yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana seperti kuburan yang megah, bekal kubur yang berharga, tangisan yang membahana, maupun pesta besar-besaran. Bila diantara saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah sanak saudara menjadi penghibur dan penguat kesabaran, sebagaimana Rasulullah memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah tersebut, dalam hadits:



“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja'far, karena mereka sedang tertimpa masalah yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61), al-Daruquthny (Sunan al-Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah, 1/514)


Namun ironisnya kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam untuk sebuah selamatan kematian yang harus ditanggung keluarga yang terkena musibah. Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang akan dikirimkan kepada sang ibu yang telah meninggal, Beliau menjawab ‘air’. Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat dari sumur yang dibuat itu (menyediakan air bagi masyarakat indonesia yang melimpah air saja sangat berharga, apalagi di Arab yang beriklim gurun), awet dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir. Rasulullah telah mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa mungkin diprioritaskan untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail, bukan memberi ikan; seandainya seorang pengemis diberi uang atau makanan, besok dia akan mengemis lagi; namun jika diberi kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri. Juga amal jariyah yang manfaatnya awet seperti menulis mushaf, membangun masjid, menanam pohon yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan kritis), membuat sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, irigasi), mengajarkan ilmu, yang memang benar-benar sedang dibutuhkan masyarakat. Bilamana tidak mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan. Seandainya dana umat Islam yang demikian besar untuk selamatan berupa makanan (bahkan banyak makanan yang akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi isyrof) dialihkan untuk memberi beasiswa kepada anak yatim atau kurang mampu agar bisa sekolah, membenahi madrasah/sekolah islam agar kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang umumnya milik umat lain),atau menciptakan lapangan kerja dan memberi bekal ketrampilan bagi pengangguran, niscaya akan lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut bukan suatu keharusan, apalagi bila memang tidak mampu. Melakukannya menjadi keutamaan, bila tidak mau pun tidak boleh ada celaan.

Sebagian ulama menyatakan mengirimkan pahala tidak selamanya harus dalam bentuk materi, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah berpendapat bacaan al- Qur’an dapat sampai sebagaimana puasa, nadzar, haji, dll; sedang Imam Syafi’i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan al-Qur’an untuk si mayit tidak sampai karena tidak ada dalil yang memerintahkan hal tersebut, tidak dicontohkan Rasulullah dan para shahabat. Berbeda dengan ibadah yang wajib atau sunnah mu’akad seperti shalat, zakat, qurban, sholat jamaah, i’tikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan bagi mereka yang meninggalkannya dalam keadaan mampu. Akan tetapi di masyarakat kita selamatan kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban agama. Orang yang meninggalkannya dianggap lebih tercela daripada orang yang meninggalkan sholat, zakat, atau kewajiban agama yang lain. Sehingga banyak yang akhirnya memaksakan diri karena takut akan sanksi sosial tersebut. Mulai dari berhutang, menjual tanah, ternak atau barang berharga yang dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim atau orang lemah. Padahal di dalam al-Qur’an telah jelas terdapat arahan untuk memberikan perlindungan harta anak yatim; tidak memakan harta anak yatim secara dzalim, tetapi menjaga sampai ia dewasa (QS an-Nisa’: 2, 5, 10, QS al- An’am: 152, QS al-Isra’: 34) serta tidak membelanjakannya secara boros (QS an- Nisa’: 6)

Dibalik selamatan kematian tersebut sesungguhnya juga terkandung tipuan yang memperdayakan. Seorang yang tidak beribadah/menunaikan kewajiban agama selama hidupnya, dengan besarnya prosesi selamatan setelah kematiannya akan menganggap sudah cukup amalnya, bahkan untuk menebus kesalahan-kesalahannya. Juga seorang anak yang tidak taat beribadahpun akan menganggap dengan menyelenggarakan selamatan, telah menunaikan kewajibannya berbakti/mendoakan orang tuanya.


Imam Syafi'i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:

"...dan aku membenci al-ma'tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat." (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)

Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah mengakar. Masuk Islam tapi kehilangan selamatan-selamatan, beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk Nasrani tapi kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25 Desember.

Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.

Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.

Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (hal 41, 64)

Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi tiga wilayah garapan

Pembagian wilayah tersebut berdasarkan obyek dakwah yang dipengaruhi oleh agama yang masyarakat anut pada saat itu, yaitu Hindu dan Budha.

Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati oleh lima orang wali, karena pengaruh hindu sangat dominan. Disamping itu pusat kekuasaan Hindu berada di wilayah Jawa bagian timur ini (Jawa Timur sekarang) Wilayah ini ditempati oleh lima wali, yaitu Syaikh Maulana Ibrahim (Sunan Demak), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri), Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat)

Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh tiga orang Wali. Pengaruh Hindu tidak begitu dominan. Namun budaya Hindu sudah kuat. Wali yang ditugaskan di sini adalah : Raden Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan Muria), Ja'far Shadiq (Sunan Kudus)

Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian barat, ditempati oleh seorang wali, yaitu Sunan Gunung Jati alias Syarief Hidayatullah. Di wilayah barat pengaruh Hindu-Budha tidak dominan, karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan) penduduknya telah menjadi penganut agama asli sunda, antara lain kepercayaan "Sunda Wiwitan"

Dua Pendekatan dakwah para wali.

1. Pendekatan Sosial Budaya
2. Pendekatan aqidah Salaf

Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha. Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan dll.

Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang waktu itu sangat menyenangi wayang kulit. Sebagai contoh dakwah Sunan kalijaga kepada Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang masih beragama Hindu, dapat dilihat di serat Darmogandul, yang antara lain bunyinya; Punika sadar sarengat, tegese sarengat niki, yen sare wadine njegat; tarekat taren kang osteri; hakikat unggil kapti, kedah rujuk estri kakung, makripat ngentos wikan, sarak sarat laki rabi, ngaben aku kaidenna yayan rina" (itulah yang namanya sahadat syariat, artinya syariat ini, bila tidur kemaluannya tegak; sedangkan tarekat artinya meminta kepada istrinya; hakikat artinya menyatu padu , semua itu harus mendapat persetujuan suami istri; makrifat artinya mengenal ; jadilah sekarang hukum itu merupakan syarat bagi mereka yang ingin berumah tangga, sehingga bersenggama itu dapat dilaksanakan kapanpun juga). Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar di muka, maka ia satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan), karena Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi).

[Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu dan Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham (Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press.]

Nasehat Sunan Bonang

Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”[1] adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai berikut:

“Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.

Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah.[2]

[1] Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti. Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1935.

[2] Dari info Abu Yahta Arif Mustaqim, pengedit buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hlm. 12-13.

Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah bid'ah yang hina namun tidak sampai diharamkan dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut Thalibin. Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal Jama’ah. Sekalipun seseorang telah melakukan kewajiban-kewajiban agama, namun tidak melakukan tahlilan, akan dianggap tercela sekali, bukan termasuk golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah. Di zaman akhir yang ini dimana keadaan pengikut sunnah seperti orang 'aneh' asing di negeri sendiri, begitu banyaknya orang Islam yang meninggalkan kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan Sholat Jum'at, puasa Romadhon,dll. Sebaliknya masyarakat begitu antusias melaksanakan tahlilan ini, hanya segelintir orang yang berani meninggalkannya. Bahkan non-muslim pun akan merasa kikuk bila tak melaksanakannya. Padahal para ulama terdahulu senantiasa mengingat dalil-dalil yang menganggap buruk walimah (selamatan) dalam suasana musibah tersebut. Dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajali: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)". (Musnad Ahmad bin Hambal (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II, hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 514)

MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA


TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH

TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.

KETERANGAN :

Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”

Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.

Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?

Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”

Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).

Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.

Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).

[Buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama Republik Indonesia : H. Maftuh Basuni]

Hasil Scan halaman buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah);




Keterangan lebih lengkapnya lihat dalam Kitab I'anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166 , Seperti terlampir di bawah ini :


وقد أرسل الامام الشافعي - رضي الله عنه - إلى بعض أصحابه يعزيه في ابن له قد مات بقوله: إني معزيك لا إني على ثقة * * من الخلود، ولكن سنة الدين فما المعزى بباق بعد ميته * * ولا المعزي ولو عاشا إلى حين والتعزية: هي الامر بالصبر، والحمل عليه بوعد الاجر، والتحذير من الوزر بالجزع، والدعاء للميت بالمغفرة وللحي بجبر المصيبة، فيقال فيها: أعظم الله أجرك، وأحسن عزاءك، وغفر لميتك، وجبر معصيتك، أو أخلف عليك، أو نحو ذلك.وهذا في تعزية المسلم بالمسلم.
وأما تعزية المسلم بالكافر فلا يقال فيها: وغفر لميتك، لان الله لا يغفر الكفر.

وهي مستحبة قبل مضي ثلاثة أيام من الموت، وتكره بعد مضيها.ويسن أن يعم بها جميع أهل الميت من صغيروكبير، ورجل وامرأة، إلا شابة وأمرد حسنا، فلا يعزيهما إلا محارمهما، وزوجهما.ويكره ابتداء أجنبي لهما بالتعزية، بل الحرمة أقرب.ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت - ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا جيرانا - وأقاربه الاباعد - وإن كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل.ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.

وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام.وجواب منهم لذلك.
(وصورتهما).

ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.فهل لو أراد رئيس الحكام - بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي - بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور.

(الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده.اللهم أسألك الهداية للصواب.
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.

قال العلامة أحمد بن حجر في (تحفة المحتاج لشرحك المنهاج): ويسن لجيران أهله - أي الميت - تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم، للخبر الصحيح.اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم.
ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع.ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية، وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة - كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه.كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.

ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.
ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء، بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم، فمن صادفهم عزاهم.
اه.

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشةوالجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.
اه.وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا.

ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا.وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر.وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.

ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما.والله سبحانه وتعالى أعلم.

كتبه المرتجي من ربه الغفران: أحمد بن زيني دحلان - مفتي الشافعية بمكة المحمية - غفر الله له، ولوالديه، ومشايخه، والمسلمين.
(الحمد لله) من ممد الكون أستمد التوفيق والعون.نعم، يثاب والي الامر - ضاعف الله له الاجر، وأيده بتأييده - على منعهم عن تلك الامور التي هي من البدع المستقبحة عند الجمهور.
قال في (رد المحتار تحت قول الدار المختار) ما نصه: قال في الفتح: ويستحب لجيران أهل الميت، والاقرباء الاباعد، تهيئة طعام لهم يشبعهم يومهم وليلتهم، لقوله (ص): اصنعوا لآل جعفر
طعاما

(ما فقد جاءهم ما يشغلهم.حسنه الترمذي، وصححه الحاكم.
ولانه بر ومعروف، ويلح عليهم في الاكل، لان الحزن يمنعهم من ذلك، فيضعفون حينئذ.وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة.روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة.اه.

وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ.وتمامه فيه، فمن شاء فليراجع.والله سبحانه وتعالى أعلم.كتبه خادم الشريعة والمنهاج: عبد الرحمن بن عبد الله سراج، الحنفي، مفتي مكة المكرمة - كان الله لهما حامدا مصليا مسلما

Terjemahan kalimat yang telah digaris bawahi di atas, di dalam Kitab I'anatut Thalibin :

1. Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk Bid'ah Mungkar, yang bagi orang (ulil amri) yang melarangnya akan diberi pahala.

2. Dan apa yang telah menjadi kebiasaan, ahli mayit membuat makanan untuk orang-orang yang diundang datang padanya, adalah Bid'ah yang dibenci.

3. Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang untuk melakukan Bid'ah Mungkarah itu (Haulan/Tahlilan : red) adalah menghidupkan Sunnah, mematikan Bid'ah, membuka banyak pintu kebaikan, dan menutup banyak pintu keburukan.

4. Dan dibenci bagi para tamu memakan makanan keluarga mayit, karena telah disyari'atkan tentang keburukannya, dan perkara itu adalah Bid'ah. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang Shahih, dari Jarir ibnu Abdullah, berkata : "Kami menganggap berkumpulnya manusia di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan , adalah termasuk Niyahah"

5. Dan dibenci menyelenggarakan makanan pada hari pertama, ketiga, dan sesudah seminggu dst.


Hasil scan halaman kitab I'anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166




Muhammadiyah, PERSIS dan Al Irsyad, sepakat mengatakan bahwa Tahlilan (Selamatan Kematian) adalah perkara bid'ah, dan harus ditinggalkan


Dari Thalhah: "Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata: Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat? Jarir menjawab: Tidak, Umar berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya, Umar berkata: Hal itu sama dengan meratap". (al-Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad: Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) dari Sa'ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq: "Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit". (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan'any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa'ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara kepadaku Yan'aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan merugi".

Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara kepada kami, Waki' bin Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary, beliau berkata: Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian dari perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah".


Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu. “Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara' adalah dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh, atau keduapuluh, atau keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal hal tersebut hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumhukumnya biayanya berasal dari harta anak yatim”. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).

Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50) Dari majalah al-Mawa'idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an, menyitir pernyataan Imam al-Khara'ithy yang dilansir oleh kitab al-Aqrimany disebutkan: "al-Khara'ithy mendapat keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata: 'Penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah'. kebiasaan tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan meninggalkannya berarti bid'ah, maka telah terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan'. (al-Aqrimany dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).


Scan Kitab Kuning Sabilal Muhtadin (versi Arab Melayu) ditulis oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari (bemazhab Syafi'i) . Pada halaman 87 juz 2 , beliau mengatakan :

Makruh lagi bid'ah bagi yang kematian memperbuat makanan yang diserukannya sekalian manusia atas memakannya, sebelum dan sesudah kematian seperti yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat



Scan halaman Kitab yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari, seorang ulama besar dari Kalimantan Selatan yang bermazhab Syafi'i. Beliau mengatakan :

"Makruh lagi bid'ah bagi yang kematian membikin makanan untuk dimakan oleh orang banyak baik sebelum maupun sesudah mengubur seperti kebiasaan dikerjakan oleh masyarakat".

Lihat hal. 741 alinea terakhir Buku Jilid 2, Bab Jenazah.

Al Mawa'idz merupakan sebuah nama bagi majalah yang dikelola oleh organisasi Nahdatul Ulama Tasikmalaya, terbit sekitar pada tahun 30-an. Di dalam majalah ini, pihak NU (yang biasa dikenal sebagai pendukung acara prevalensi perjamuan tahlilan) menyatakan sikap yang sebenarnya terhadap kedudukan hukum prevalensi tersebut. Berikut kutipannya :

Tjindekna ngadamel rioengan di noe kapapatenan teh, ngalanggar tiloe perkara :

1. Ngabeuratkeun ka ahli majit; enja ari teu menta tea mah, orokaja da ari geus djadi adat mah sok era oepama henteu teh . Geura oepama henteu sarerea mah ?
2. Ngariweuhkeun ka ahli majit; keur mah loba kasoesah koe katinggal maot oge, hajoh ditambahan.
3. Njoelajaan Hadits, koe hadits mah ahli majit noe koedoe di bere koe oerang, ieu mah hajoh oerang noe dibere koe ahli majit.

Kesimpulannya mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayat yang sedang berduka cita, berarti telah melanggar tiga hal :

1. Membebani keluarga mayat, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayat akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan. Tetapi coba kalau semua orang tidak melakukan hal serupa itu ?

2. Merepotkan keluarga mayat, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.

3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits justru kita tetangga yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayat yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya.

Kemudian ditempat lain :

Tah koe katerangan Sajjid Bakri dina ieu kitab I'anah geuning geus ittifaq oelama-oelama madhab noe 4 kana paadatan ittiehadz tho'am (ngayakeun kadaharan) ti ahli majit noe diseboetkeun njoesoer tanah, tiloena, toejoehna dj.s.t. njeboetkeun bid'ah moenkaroh.

Nah, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab I'anah tersebut, ternyata para ulama dari 4 mazhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah Nyusur Tanah, tiluna (hari ketiganya), tujuhnya (hari ketujuhnya), dst, merupakan perbuatan bid'ah yang tidak disukai agama.

Selanjutnya :

Koeninga koe ieu toekilan-toekilan noe ngahoekoeman bid'ah moenkaroh, karohah haram teh geuning oelama-oelama ahli soennah wal Djama'ah, lain bae Attobib, Al Moemin, Al Mawa'idz. Doeka anoe ngahoekoeman soennat naha ahli Soennah wal Djama'ah atawa sanes ?

Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahui bahwa sebenarnya yang menghukumi bid'ah mungkarah itu ternyata ulama-ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah, bukan hanya majalah Attobib, Al Moemin, Al Mawa'idz. Tidak tahu siapa yang menghukumi sunnat, apakah Ahlu Sunnah wal Jama'ah atau bukan ?

Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa warga Nu pada waktu itu sepakat pandangannya terhadap hukum prevalensi perjamuan tahlilan, yaitu bid'ah yang dimakruhkan dengan makruh tahrim, (menjadi haram karena sebab lain) apabila biaya penyelenggaraan acara tersebut berasal dari tirkah mayit (peninggalan mayit) yang di dalamnya terdapat ahli waris yang belum baligh atau mahjur 'alaihi ( di bawah pengampuan/curatel).

Demikian isi majalah tersebut. [Al Mawa'dz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya (Tasikmalaya: Nahdlatoel Oelama, 1933)]

Dan para ulama berkata: "Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan orang Kafir, oleh karena itu setiap orang seharusnya melarang keluarganya dari menghadiri acara semacam itu". (al-Aqrimany hal 315 dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285) Al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati dalam kitabnya I'anah at- Thalibien menghukumi makruh berkumpul bersama di tempat keluarga mayat, walaupun hanya sebatas untuk berbelasungkawa, tanpa dilanjutkan dengan proses perjamuan tahlilan. Beliau justru menganjurkan untuk segera meninggalkan keluarga tersebut, setelah selesai menyampaikan ta'ziyah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr, 1414) juz II, hal 146)

Ibn Taimiyah ketika menjawab pertanyaan tentang hukum dari al-Ma'tam: "Tidak diterima keterangan mengenai perbuatan tersebut apakah itu hadits shahih dari Nabi, tidak pula dari sahabat-sahabatnya, dan tidak ada seorangpun dari imam-imam muslimin serta dari imam madzhab yang empat (Imam Hanafy, Imam Maliki, Imam Syafi'i, Imam Ahmad) juga dari imam-imam yang lainnya, demikian pula tidak terdapat keterangan dari ahli kitab yang dapat dipakai pegangan, tidak pula dari Nabi, sahabat, tabi'ien, baik shahih maupun dlaif, serta tidak terdapat baik dalam kitab-kitab shahih, sunan-sunan ataupun musnad-musnad, serta tidak diketahui pula satupun dalam hadits-hadits dari zaman nabi dan sahabat.

" Menurut pendapat Mufty Makkah al-Musyarafah, Ahmad bin Zainy Dahlan yang dilansir dalam kitab I'anah at-Thalibien: "Tidak diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid'ah munkarah tersebut adalah mengandung arti menghidupkan sunnah dan mematikan bid'ah, sekaligus berarti menbuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan". (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at-Thalibien juz II, hal 166) Memang seolah-olah terdapat banyak unsur kebaikan dalam tahlilan itu, namun bila dikembalikan ke dalam hukum agama dimana Hadits ke-5 Arba’in an- Nawawiyah disebutkan: “Dari Ummul mukminin, Ummu 'Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak". (Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718)

Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah instrumen untuk menjaga kemurnian Islam ini meskipun sampai akhir zaman Allah tidak mengutus Rasul lagi. Dibalik larangan bid’ah terkandung hikmah yang sangat besar, membentengi perubahan- perubahan dalam agama akibat arus pemikiran dan adat istiadat dari luar Islam. Bila pada umat-umat terdahulu telah menyeleweng agamanya, Allah mengutus Rasul baru, maka pada umat Muhammad ini Allah tidak akan mengutus Rasul lagi sampai kiamat, namun membangkitkan orang yang memperbarui agamanya seiring penyelewengan yang terjadi. Ibadah yang disunnahkan dibandingkan dengan yang diada-adakan hakikatnya sangat berbeda, bagaikan uang/ijazah asli dengan uang/ijazah palsu, meskipun keduanya tampak sejenis. Yang membedakan 72 golongan ahli neraka dengan 1 golongan ahli surga adalah sunnah dan bid’ah. Umat ini tidak berpecahbelah sehebat perpecahan yang diakibatkan oleh bid’ah. Perpecahan umat akibat perjudian, pencurian, pornografi, dan kemaksiatan lain akan menjadi jelas siapa yang berada di pihak Islam dan sebaliknya. Sedang perpecahan akibat bid’ah senantiasa lebih rumit, kedua belah pihak yang bertikai kelihatannya sama-sama alim. Ibn Abbas r.a berkata: "Tidak akan datang suatu zaman kepada manusia, kecuali pada zaman itu semua orang mematikan sunnah dan menghidupkan bid'ah, hingga matilah sunnah dan hiduplah bid'ah. tidak akan ada orang yang berusaha mengamalkan sunnah dan mengingkari bid'ah, kecuali orang tersebut diberi kemudahan oleh Allah di dalam menghadapi segala kecaman manusia yang diakibatkan karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan keinginan mereka serta karena ia berusaha melarang mereka melakukan apa yang sudah dibiasakan oleh mereka, dan barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka Allah akan membalasnya dengan berlipat kebaikan di alam Akhirat".(al- Aqriman y hal 315 dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)

Sekali lagi kami ulangi...

Sehingga disimpulkan oleh Majalah al-Mawa'idz bahwa mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayit berarti telah melanggar tiga hal:

1. Membebani keluarga mayit, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayit akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan.

2. Merepotkan keluarga mayit, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.

3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits, justeru kita (tetangga) yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayit yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya. (al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, hal 200)

Kemudian, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab 'Ianah, ternyata para ulama dari empat madzhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dst merupakan perbuatan bid'ah yang tidak disukai agama (hal 285). Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahuilah bahwa sebenarnya yang menghukumi bid'ah munkarah itu ternyata ulama-ulama Ahl as-Sunnah wa al- Jamaah, bukan hanya (majalah) Attobib, al-moemin, al-Mawa'idz. tidak tau siapa yang menghukumi sunat, apakah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah atau bukan (hal 286). Dan dapat dipahami dari dalil-dalil terdahulu, bahwa hukum dari menghidangkan makanan oleh keluarga mayit adalah bid'ah yang dimakruhkan dengan makruh tahrim (makruh yang identik dengan haram). demikian dikarenakan hukum dari niyahah adalah haram, dan apa yang dihubungkan dengan haram, maka hukumnya adalah haram". (al-Aqrimany hal 315 dalam al- Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286) Kita tidaklah akan lepas dari kesalahan, termasuk kesalahan akibat ketidaktahuan, ketidaksengajaan, maupun ketidakmampuan. Namun jangan sampai kesalahan yang kita lakukan menjadi sebuah kebanggaan. Baik yang menghukumi haram maupun makruh, sebagaimana halnya rokok, tahlilan, dll selayaknya diusahakan untuk ditinggalkan, bukan dibela-bela dan dilestarikan.


BERIKUT INI ADALAH FATWA-FATWA DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN

I. MADZHAB HANAFI



  • HASYIYAH IBN ABIDIEN





  • Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah". Dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar 'ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)



  • AL-THAHTHAWY





  • Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYA. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah 'ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).



  • IBN ABDUL WAHID SIEWASY





  • Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya bid'ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah". (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142)
    II.MADZHAB MALIKI



  • AL-DASUQY





  • Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid'ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy 'ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)



  • ABU ABDULLAH AL-MAGHRIBY





  • Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid'ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)... adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghriby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)

    III.MADZHAB SYAFI’I



  • AL-SYARBINY





  • Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid'ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid'ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna' li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)



  • AL-QALYUBY





  • Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid'ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;') juz I, hal 353)



  • AN-NAWAWY





  • Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid'ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu' (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid'ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)



  • AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI





  • Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid'ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)



  • AL-AQRIMANY





  • Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid'ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)




  • RAUDLAH AL-THALIBIEN







  • Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid'ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)

    IV. MADZHAB HAMBALI



  • IBN QUDAMAH AL-MAQDISY





  • Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: "Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?" Jawab Jarir: "Ya". Berkata Umar: "Hal tersebut termasuk meratapi mayat". Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Maqdisy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)



  • ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MAQDISY





  • Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Maqdisy, al-Furu' wa Tashhih al-Furu' (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)



  • ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY






  • Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-Mabda' fi Syarh al-Miqna' (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal 283)



  • MANSHUR BIN IDRIS AL-BAHUTY





  • Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi' (Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)



  • KASYF AL-QANA'






  • Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya...dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina' (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)



  • IBN TAIMIYAH






  • Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid'ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah". (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)

    Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat, bila ada kesalahan mohon maaf dan koreksinya. Sampaikanlah kepada saudara-saudara kita sebagai upaya untuk memperbaiki umat Islam ini

    Di rujuk kepada tulisan:
    Catatan Satu Hari, Satu Ayat Qur'an. Dengan editing dan penambahan literatur dan gambar halaman buku yang discan oleh Anwar Baru Belajar.
    http://www.facebook.com/note.php?note_id=402269969650&id=203164362857&ref=mf
    _______________________________________________________


    Catatan Tepi untuk direnungi:


    Termasuk dalam kategori hukum yang manakah Tahlilan [selamatan Kematian] ?

    Klasifikasi hukum dalam Islam secara umum ada 5 (lima) kalau tidak termasuk; Shahih, Rukhsoh, Bathil, Rukun, Syarat dan 'Azimah.(Mabadi' awaliyyah, Abd Hamid Hakim)
    1. Wajib : Apabila dikerjakan berpahala, ditinggalkan berdosa.

    2. Sunnah/Mandub : Apabila dikerjakan berpahala, ditinggalkan tidak apa-apa.

    3. Mubah : Tidak bernilai, dikerjakan atau tidak dikerjakan tidak mempunyai nilai.

    4. Makruh : Dibenci, apabila dikerjakan dibenci, apabila ditinggalkan berpahala.

    5. Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.


    Pertanyaan :

    1. Apakah Tahlilan [yang dimaksud :Selamatan Kematian] di dalamnya terkandung ibadah ?
    2. Termasuk dalam hukum yang mana Tahlilan tersebut ?

    Jawab :

    1. Karena didalamnya ada pembacaan do'a, baca Yasin, baca sholawat, baca Al Fatikhah, maka ia termasuk ibadah. Hukum asal ibadah adalah "haram" dan "terlarang". Kalau Allah dan Rasulullah tidak memerintahkan, maka siapa yang memerintahkan ? Apakah yang memerintahkan lebih hebat daripada Allah dan Rasulullah

    2. Jika hukumnya "wajib", maka bila dikerjakan berpahala, bila tidak dikerjakan maka berdosa. Maka bagi negara lain yang penduduknya beragama Islam, terhukumi berdosa karena tidak mengerjakan. Ternyata tahlilan, hanya di lakukan di sebagian negara di Asia Tenggara

    Wajibkah Tahlilan ? Ternyata tidak, karena tidak ada perintah Allah dan Rasul untuk melakukan ritual tahlilan (Selamatan Kematian : red)

    Sunnahkah Tahlilan ? Ternyata ia bukan sunnah Rasul, sebab Rasulullah sendiri belum pernah mentahlili istri beliau, anak beliau dan para syuhada.

    Nah…..berarti hukumnya bukan Wajib, juga bukan Sunnah.

    Kalau seandainya hukumnya Mubah, maka untuk apa dikerjakan, sebab ia tidak mempunyai nilai (tidak ada pahala dan dosa, kalau dikerjakan atau ditinggalkan). Sudah buang-buang uang dan buang-buang tenaga, tetapi tidak ada nilainya.

    Jadi, tinggal 2 (dua) hukum yang tersisa, yaitu Makruh dan Haram. Makruh apabila dikerjakan dibenci, apabila ditinggalkan berpahala. Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.


    Jadi….sekarang pilih yang mana ? Masih mau melakukan atau tidak ?
    __________________________