Benarkah Syiah Indonesia Tak Merisaukan? (Tanggapan terhadap Rektor IAIN Sunan Ampel)
Oleh: Kholili Hasib, M.A
Alumnus Program Pasca Sarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo
Alumnus Program Pasca Sarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo
Beberapa
kalangan menyebut penganut Syi’ah di Indonesia berbeda dengan di Iran
dan Irak. Salah satu di antaranya Prof. Dr. Nur Syam, Rektor IAIN Sunan
Ampel Surabaya, di harian Surya, Sabtu (31/12/2011) mengatakan
bahwa Syi’ah di Indonesia telah ‘mengindonesia.’ Syiah telah
beradaptasi dengan kultur Indoensia, sehingga Syi’ah Indonesia tidak
perlu dirisaukan. Benarkah demikian?
Dalam
konteks ini, menarik jika kita membaca hasil penelitian disertasi Prof.
Dr. Mohammad Baharun, M.Ag di IAIN Surabaya tentang karakter Syi’ah
Indonesia. Menurut Rektor Universitas Nasional Pasim Bandung ini, Syi’ah
di Indonesia itu tidak monolitik. Meski begitu, penelitian Prof.
Baharun selama bertahun-tahun itu menyimpulkan, bahwa mereka disatukan
oleh satu doktrin esensial, yakni doktrin Imamah.
Ternyata,
faktor perbedaan karakter Syi’ah di Indonesia itu bukan karena budaya,
kultur keindonesiaan. Akan tetapi, tingkat pemahaman penganut Syi’ah
terhadap doktrin Imamah itu yang melahirkan tipologi yang berbeda.
Adapun faktor budaya dan kultur Indonesia hanya mewarnai kulitnya saja,
tidak sampai kepada mengubah pandangan akidah, atau doktrin-doktrin
utamanya. Kesimpulannya, pada dasarnya Syi’ah di Indonesia itu menurut
Prof. Baharun sama dengan Syi’ah di Iran yakni Syi’ah ‘Istna Asyariyah.
Apalagi, penyebarannya dibawa oleh orang-orang Indonesia alumni
Universitas Qom Iran.
Doktrin Utama
Akidah
yang paling sentral dan sifatnya mutlak dalam Syi’ah Itsna ‘Asyariyah
adalah akidah Imamah. Mengimani dua belas Imam yang disebutnya ma’shum
(bebas dari kesalahan), sebagaimana kema’shuman para Nabi. Dalam
pengertian Syi’ah, Imammah ini bukan seperti Imamah dalam konsep Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Akan tetapi imamah adalah doktrin primer dalam
ideologi dan teologi.
Dalam
pemahaman Ahlus Sunnah Imamah disebut pula khalifah, yaitu penguasa dan
pemimpin tertinggi rakyat sesudah Nabi SAW. Kata imam pun disebut dalam
al-Qur’an dengan berbagai bentuk, selain berarti pemimpin juga bermakna
lain, misalnya yang disebut dalam QS. Al-Ahqaf Imam bermakna al-Qur’an.
Kata imam juga memiliki arti pemimpin pasukan dan pengatur kemaslahatan
(QS. Al-Baqarah: 24). Imam dalam pengertian di sini bukan pemimpin
pengganti Nabi SAW.
Dalam
hadis Nabi SAW, dapat ditemukan istilah-istilah imamah, khilafah, dan
imarah yang semuanya bermakna pemimpin. Baik pemimpin shalat, atau
pemimpin kenegaraan. seperti hadis Nabi SAW yang menyuruh Abu Bakar r.a
mempimpin shalat ketika Nabi SAW sedang sakit. “Dari Abdullah ia
berkata: Ketika Rasulullah SAW wafat, maka kaum Anshar berkata:
“Sebaiknya dari kami dipilih seorang pemimpin dan dari kalian seorang
pemimpin.” Umar ra bertanya;” Apakah kalian tidak tahu bahwa Rasulullah
SAW memilih Abu Bakar untuk menjadi imam dalam shalat?” Karena itu jika
salah satu dari kalian yang lebih afdhal dari Abu Bakar, maka
belakangilah (tinggalkan) Abu Bakar. Mereka menjawab: “Kami berlindung
dari Allah untuk membelakangi Abu Bakar”.
Bagi
Syi’ah Imamiyah, memahami hadis-hadis doktrin imamah bukan saja harus
bersumber dari Rasulullah SAW, namun juga dari para imam dua belas
sebagai manusia-manusia suci (ma’shum). Kemutlakan imam sebagai pemimpin
yang bebas dari dosa berimplikasi kepada konsep hadis. Ucapan-ucapan
para imam disebut hadis. Seperti yang ditulis dalam al-Kafi Jilid I
halaman 52 hadis no. 14: “Abu Abdillah as (Imam Ja’far al-Shadiq)
berkata, bahwa hadisku adalah hadis ayahku (imam Muhammad al-Baqir),
hadis ayahku adalah hadis kakekku (Imam Ali Zainal Abidin), hadis
kakekku adalah hadis al-Husein (imam ke-3), hadis al-Husein adalah hadis
al-Hasan (imam ke-2) dan hadis al-Hasan adalah Hadis Amir al-Mu’minin
(Imam pertama), dan hadis Amir al-Mu’minin adalah hadis Rasulullah SAW
sedang hadis Rasulullah SAW adalah firman Allah SWT”.
Kategorisasi
dan parameter pengukuran hadis disebut shahih atau tidak juga berbeda
dengan hadis dalam konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Menurut Syi’ah,
hadis disebut shahih dengan syarat; Pertama, karena hadis itu
diriwayatkan dari sumber yang dipercaya. Kedua, karena hadis itu sejalan
dengan dalil lain yang bersifat pasti (qat’i) dan sejalan pula
dengan konteks yang dipercaya. Dari pemahaman seperti ini (hadis Nabi
identik dengan hadis para Imam), maka doktrin imamah dalam Syi’ah Itsna
‘Asyariyah adalah satu keniscayaan. Dimananpun Syi’ah dua belas berada,
pasti mengamalkan doktrin esensial ini.
Saya
pernah mengonfirmasi doktrin ini ke sejumlah orang-orang dan lembaga
pendidikan Syi’ah di Jawa Timur. Mereka jujur meyakini bahwa perkataan
Imam itu disebut hadis, dan katanya tidak mungkin salah. Perkataan imam
menjadi hukum yang pasti.
Dalam pandangan mereka, imamah itu penerus nubuwwah yang ditunjuk berdasarkan nash Ilahi, karena ucapan-ucapan para Imam itu adalah identik dengan hadis Nabi yang bersumber dari wahyu Allah SWT.
Sejumlah
kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah di daerah Jawa Timur menilai ajaran
ini aneh. Seringkali perdebatan-perdebatan mewarnai di daerah ini.
Menurut mereka ajaran aneh ini bertentangan dengan ajaran para
pendahulu. Lebih menghawatirkan lagi jika perdebatan mereka sampai
kepada debat tentang keadilan sahabat. Saya mendapat informasi dari
beberapa orang di Pasuruan, Jember dan Bondowoso, kalangan Sunni merasa
gerah dengan ajaran Syi’ah yang merendah-rendahkan sahabat Abu Bakar,
Umar dan ‘Aisyah istri Rasulullah SAW. Sebelum isu bentrok Syi’ah
merebak, ada pengikut Syi’ah yang terang-terangan mengucapkan penistaan.
Bahkan penistaan blak-blakan ditulis aktivis Syi’ah di jejaring sosial.
Pengikut
Syi’ah memang ada yang terang-terangan ada pula yang mengajarkan secara
tertutup untuk kalangan mereka sendiri. Ragam respon penganut Syi’ah
itu juga dipengaruhi oleh tingkat pemahaman mereka terhadap doktrin
kemutlakan imamah.
Model
penghayatan terhadap akidah imamah yang bertingkat-tingkat itu
melahirkan model perilaku pengikut Syi’ah yang berbeda pula. Selain itu
pola adaptasi Syi’ah di tengah mayoritas Sunni juga mempengaruhi
perilaku pengikut Syi’ah Imamiyah. Umumnya, Syi’ah enggan berterus
terang kepada kelompok lain, kecuali kepada sesama ikhwan Syi’ah.
Seperti
dalam kesimpulan Prof. Dr. Mohammad Baharun dalam penelitian Syi’ah di
Jawa Timur, bahwa lahirnya tipe-tipe Syi’ah itu tergantung seberapa
banyak mereka menyerap doktrin imamah yang diajarkan. Ada tiga tipe yang
ditemukan Prof. Baharun:
1.
Syi’ah ideologis. Jama’ah Syi’ah imamah ini dididik secara sistematis,
intens, serius melalui program kaderisasi. Ada yang dikader melalui
pesantren ada pula di lembaga pendidikan formal. Materi-materinya
meliputi mantiq, filsafat dan akidah-akidah penopang seperti konsep
imamah. Kader ini ini biasanya menjadi pengikut yang militant yang tidak
saja memahami teologi namun sekaligus ideology yang bersumber dari
imamah. Banyak dari kader tipe ini yang disekolahkan ke pusat Syi’ah di
kota Qom Iran.
2.
Syi’ah “Su-Si”. Jama’ah Syi’ah model ini diperkenalkan melalui pengajian
dan selebaran. Sasarannya biasanya para santri di pondok pesantren. Ada
pula yang semula bersimpatik kepada Syi’ah. Model pendekatannya tidak
terlalu intensif bahkan kadang setengah-setengah. Rata-rata mereka tidak
memahami referensi-referensi penting Syi’ah. Pemahamannya
setengah-setengah. Saya pernah menjumpai tipe ini di sebuah daerah di
Pasuruan. Orang tersebut mengaku Sunni, akan tetapi ia juga mengikuti
ritual-ritual yang diadakan oleh Syi’ah, seperti karbala, menghormati
para dua belas Imam, dan mengkultuskan Khomeini. Ketika shalat orang itu
mengikuti cara ala Sunni. “Syi’ah sama saja, yang berbeda
kulitnya. Maka saya ambil yang sekiranya baik dari Syi’ah dan Sunni”,
begitu alasan tipe Su-Si. Namun tetap orang tersebut mengimani dua belas
Imam sebagai pemimpin pengganti Nabi SAW. Ada pula tipe ini adalah
calon kader militan. Seperti sebuah tahapan untuk meningkat ke jenjang
berikutnya.
3.
Syi’ah Simpatisan. Biasanya mereka pemuda yang gemar pemikiran filsafat
Syi’ah. Jama’ah ini mengenal Syiah imamah melalui buku-buku, seminar
yang diadakan di kampus-kampus dan pendekatan individual. Mereka juga
mengagumi Revolusi Iran yang dipelopori Khomeini tahun 1979. Mereka
memahami pemikiran aja. Mereka juga disebut Syi’ah pemikiran. Mereka
bersifat lebih adaptif dengan Sunni tapi mereka elaboratif dalam
memahami Syi’ah dua belas.
Syi’ah
Imamiyah di Indonesia khususnya di Jawa Timur pada dasarnya memiliki
rujukan-rujukan yang sama. Yang berbeda itu tingkat memahami
rujukan-rujukan tersebut. Boleh jadi Syi’ah Simpatisan atau Syi’ah
‘Su-Si’ meningkat menjadi Syi’ah Ideologis, setelah mereka memahami dan
memasuki kader intensif.
Syi’ah
Ideologis yang militan pun bisa sangat adaptif, meski keyakinannya
termasuk fundamental. Alasannya mereka itu untuk berdakwah lebih dekat
dengan Sunni, sebagai sebuah strategi merekrut anggota.
Pola
adaptif di tengah mayoritas Sunni di Indonesia dipraktikkan sejak awal
dari strategi seoranttokoh senior Syi’ah di kota Bangil Pasuruan.
Majalah AULA – majalah milik Nahdlatul Ulama– pada edisi November 1993 pernah
menurunkan berita tentang strategi Syi’ah berdakwah di Indonesia. AULA
mengutip sebuah surat rahasia dari seorang di Iran. Berikut sebagaian
isi surat tersebut:
“Saya
ucapkan terima kasih kepada tuan atas usulan yang benar terhadap saya
dan sudah lama menjadi pemikiran saya. Yaitu sejak kemenangan Imam atas
Syi’ah. Walaupun saya tangguhkan hal itu, namun saya tidak ragu
sedikitpun tentang kebenaran Ahlul Bait dan bukan karena takut kepada
orang-orang atau jika saya tinggalkan taqiyah maka bukan supaya dipuji
orang-orang. Sama sekali tidak! Akan tetapi saya sekarang
mempertimbangkan situasi disekitar saya. Fanatisme Sunni secara umum
masih kuat. Untuk mendekatkan mereka (kaum Sunni), saya ingin nampak
dengan membuka kedok, kemudian membela serangan ulama mereka yang
Nawasib (anti Syi’ah) mereka akan mengatakan: Syi’i membela Syi’ah. Saya
telah berhasil merangkul sejumlah ulama mereka yang lumayan banyaknya,
sehingga mereka memahami jutaan madzhab Ahlul Bait atas lainnya. Saya
anggap ini sebagai kemajuan dalam langkah-langkah perjuangan kita”.
Surat
ini juga sempat menjadi berita heboh di Pasuruan dan membuka pikiran
sejumlah orang. Banyak yang kemudian menyadari bahwa selama ini akidah
Syi’ah diajarkan secara sembunyi-sembunyi. Beberapa ulama’ kemudian
tertarik untuk mempelajari kitab-kitab rujukan Syi’ah yang asli,
terutama kitab al-Kafi. Dari pendekatan pustaka ini banyak yang sudah
mengenal apa dan bagaimana Syi’ah di Indonesia.
Memang
mengkaji Syi’ah secara proprosional haruslah dengan mendekati kepada
litelatur-litelatur yang diajarkan oleh Syi’ah di Indonesia. Mengkaji
Syi’ah dari pernyataan tokoh-tokoh Indonesia dipastikan tidak mampu
mendapatkan hakikat yang sebenarnya. Sebab, mereka mengamalkan doktrin
taqiyyah (pura-pura/menyembunyikan keyakinan) untuk mengelabuhi
mayoritas sunni. Yang tepat, mempelajari kitab-kitab yang menjadi
rujukan mereka. Tanpa itu, pengetahuan kita tentang Syi’ah remang-remang
dan kabur. [voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar